Pembiayaan Multimanfaat: Studi Draf Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia No. 121/DSN-MUI/II/2018

Oleh: Perdana Nur Ambar Setyawan

Mahasiswa S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

perdananur@gmail.com/081578042402

Lembaga Keuangan Syariah terus berbenah dan memodifikasi produk produknya agar sesuai dengan kebutuhan pasar syariah di masyarakat. Tidak terkecuali di bidang penyaluran dana pada Lembaga Keuangan Syariah yang awal mulanya ditandai dengan maraknya penggunaan akad murabahah (jual beli barang), ijarah (sewa menyewa), dan Mudharabah Musyarakah (kerjasama), sekarang mulai adanya kombinasi antara ketiganya sehingga disebut pembiayaan multimanfaat. Pembiayaan multi manfaat bukanlah hal baru dalam inklusi keuangan syariah, namun kekosongan hukum syariah yang mengaturnya menjadikan problem tersendiri. Mensikapi hal itu, DSN-MUI emnjawabnya dengan merancang sebuah draf final Fatwa No. 121/DSN-MUI/II/2018 tentang Pembiayaan Multimanfaat. Selain didasari kekosongan hukum, draft fatwa ini juga disusun atas surat permintaan Opini dan Fatwa dari UUS Bank Aceh serta Bank BTPN Syariah. Ketetapan pada fatwa tersebut mempunyai inti bahwa kombinasi pembiayaan antara barang dan jasa dierbolehkan dengan beberapa aturan tertentu.

Kata Kunci: Fatwa DSN-MUI, Pembiayaan Multimanfaat

Pendahuluan

            Pembiayaan adalah kegiaan penyaluran dana kepada masyarakat yang membutuhkan melalui Lembaga Keuangan Syariah.  Lazimnya istilah pembiayaan memang hanya dipakai pada inkusi keuangan syariah, sebagai padanan yang hampir mirip dengan istilah kredit pada inklusi keuangan konvensional. Mengambil contoh apabila di bank konvensional ada produk bernama KKB (Kredit Kendaraan Bermotor) dan KPR (Kredit Pemilikan Rumah), maka di bank syariah bernama PKB (Pembiayaan Kendaraan Bermotor) dan PPR (Pembiayaan Pemilikan Rumah). Dualisme dikotomi tersebut terjadi karena memang intisari keduanya sangatlah berbeda, apabila kredit menitikberatkan pada pokok uang yang diberikan kepada nasabah, akan tetapi apabila pembiayaan menitikberatkan pada objek barang.jasa yang akan dibiayai. Singkat kata, bagi kebanyakan umat Islam, lembaga keuangan Islam menawarkan jalan keluar baru dari salah satu dilema sulit kehidupan modern. Jika Lembaganya berhasil secara ekonomi, maka lembaga bersangkutan dapat mengobati jeritan nurani pelakunya di samping juga memberikan manfaat finansial kepadanya. kesuksesan lembaga keuangan Islam akan menjadi pertanda bagi banyak kemajuan lain menuju cara hidup Islami yang lebih terpadu.1 Namun perlu diingat bahwa inklusi keuangan syariah bukan hanya menjadi menjadi domain seorang muslim saja, karena Ajaran Islam itu bersifat universal. Universalitas hukum Islam ini sesuai dengan pemilik hukum itu sendiri yang kekuasaannya tidak terbatas. Hal ini dijelaskan dalam QS Saba’ ayat (28):

وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةٗ لِّلنَّاسِ بَشِيرٗا وَنَذِيرٗا وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٢٨ 

Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui

dan QS Al Anbiya ayat (107):

وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ ١٠٧ 

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam Di samping itu, hukum Islam mempunyai sifat yang dinamis (cocok ntuk setiap zaman).2 Dengan demikian Islam tidak menghendaki pemeluknya melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajarannya, seperti praktik riba, penipuan, dan lainnya, tetapi

Islam menyuruh kita agar mencari rejeki yang halal, sebagaimana firman Allah berikut:3QS Al Mulk ayat (15):

هُوَ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ ذَلُولٗا فَٱمۡشُواْ فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُواْ مِن رِّزۡقِهِۦۖ وَإِلَيۡهِ ٱلنُّشُورُ ١٥

15. Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan Produk standar pembiayaan perbankan syariah di Indonesia yaitu: Al-Bay, al-Salam, al-Syirkah, dan al-Qiradh, ditambah akad al-Wadi’ah.4 Perkembangan aktivitas ekonomi dalam masyarakat semakin berkembang antara lain kebutuhan akan pembiayaan muti barang misalnya pada pembiayaan barang-barang konsumtif harian rumah tangga, pembiayaan multi jasa untuk mendapat manfaat beragam jasa dalam satu akad, dan pembiayaan multiguna untuk mendapat manfaat paket lengkap kombinasi antara barang dengan jasa dalam bentuk paket. Hukum Syariah yang mengatur mengenai pembiayaan multi manfaat mengalami kekosongan atau status quo. Majelis Ulama Indonesia sebagai representasi lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa – fatwa khususnya dalam bidang ekonomi syariah melalaui Dewan Syariah Nasional diharapkan segera merespon permasalahan tersebut. Kewajiban DSN-MUI tersebut juga diamanatkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan misalnya Undang-undang RI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, diatur pada Pasal 1 angka 11 “Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdsarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan penetapan fatwa di bidang syariah” dan diperkuat dalam pasal-pasal penjelasan pada UU tersebut yang mempertegas kewenangan serta tugas MUI untuk merespon permasalahan berkaitan prinsip syariah perbankan. Saat ini DSN-MUI telah menyelesaikan draf Fatwa No 121/DSN-MUI/II/2018 dalam merespon hal-hal di atas.

Pembahasan

Pada intinya isi draf Fatwa 121/DSN-MUI/II/2018 adalah memberikan kepastian hukum yang membolehkan adanya transaksi pembiayaan multi manfaat sebagaimana terdapat dalam ketetapan putusan yang kedua. Baik berupa multi barang, multi jasa, ataupun kombinasi keduanya. Namun perlu dicermati, putusan bagian ketiga fatwa tersebut mengatur tegas akad akad apa yang bisa digunakan dalam transaksi. Pembiayaan multi barang hanya dapat diterapkan dengan menggunakan akad:

a. Akad Jual Beli, mengacu pada fatwa DSN-MUI No. 110/DSN-MUI/IX/2017;

Jual beli adalah salah satu cara perpindahan kepemilikan yang dihalalkan oleh al-Qur‟an. Ia telah ada sebelum al-Qur‟an diturunkan. al- Qur‟an mengatur tijarah (bisnis) yang didalamnya termasuk jual beli, agar pelaksanaannya dilakukan atas dasar saling rela.5 Untuk menghindari dari kerugian salah satu pihak maka jual beli haruslah dilakukan dengan kejujuran, tidak ada penipuan, paksaan, kekeliruan dan hal lain yang dapat mengakibatkan persengketaan dan kekecewaan atau alasan penyesalan bagi kedua belah pihak maka edua belah pihak haruslah melaksanakan apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing, diantaranya: pihak penjual menyerahkan barangnya sedangkan pihak pembeli menyerahkan uangnya sebagai pembayaran. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah hendaklah dilakukan penulisan dari transaksi tersebut. Sebagaiman firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat (282):

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبُۢ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَلَا يَأۡبَ كَاتِبٌ أَن يَكۡتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُۚ فَلۡيَكۡتُبۡ وَلۡيُمۡلِلِ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبۡخَسۡ مِنۡهُ شَيۡ‍ٔٗاۚ فَإِن كَانَ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ سَفِيهًا أَوۡ ضَعِيفًا أَوۡ لَا يَسۡتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهُۥ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ وَلَا يَأۡبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُواْۚ وَلَا تَسۡ‍َٔمُوٓاْ أَن تَكۡتُبُوهُ صَغِيرًا أَوۡ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقۡوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَرۡتَابُوٓاْ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةٗ تُدِيرُونَهَا بَيۡنَكُمۡ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَلَّا تَكۡتُبُوهَاۗ وَأَشۡهِدُوٓاْ إِذَا تَبَايَعۡتُمۡۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٞ وَلَا شَهِيدٞۚ وَإِن تَفۡعَلُواْ فَإِنَّهُۥ فُسُوقُۢ بِكُمۡۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٢٨٢ 

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali jika mu´amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Dalam praktek dewasa ini memang akad semuanya tertulis, karena akan sulit pembuktiannya apabila terjadi sengketa di kemudian hari pada Lembaga Keuangan Syariah. Namun dalam fatwa 110/DSN MUI/IX/2017 selain akan tertulis juga diakui bentuk lain yaitu: lisan, isyarat, perbuatan/tindakan, dan elektronik. Yang paling terpenting adalah akad jual beli tersebut harus dinyatakan jelas dan tegas serta dipahami dan dimengerti oleh penjual dan pembeli.6 Perlu dipahami bahwa Setiap akad jual beli wajib memenuhi rukun dan syarat-syaratnya, apabila tidak terpenuhi rukun dan/atau syarat-syaratnya, maka perjanjiannya dapat dibatalkan.7

b. Akad Jual Beli Murabahah, mengacu pada fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000;

Murabahah adalah jual beli suatu barang dengan menegaskan harga belinya (harga perolehan) kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga lebih (margin) sebagai laba sesuai dengan kesepakatan para pihak.8 Imam Syafi’i, pakar hukum Islam, dalam kitabnya al-Umm membolehkan murabahah. Seseorang dapat meminta orang lain membelikan sesuatu yang diinginkan kemudian ia memberikan keuntungan tertentu kepadanya. Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan murabahah sebagai jual beli dengan pokok harga atau dengan harga yang dipatok penjual dengan keuntungan misal satu dirham untuk setiap sepuluh dirham dengan syarat para pihak mengetahui pokok harga tersebut.9 Akad Murabahah merajai sebagian besar transaksi pembiayaan pada Lembaga Keuangan Syariah, di samping teknisnya mudah, juga dalam murabahab lebih fleksibel dalam meminta serta melakukan eksekusi jaminan. Dalam Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 pengaturan mengenai jaminan dalam pembiayaan murabahab diperbolehkan sebagaimana isi dari ketetapan nomor 3 yaitu:10

1) Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.

2) Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

c. Akad Jual Beli Istishna, mengacu pada fatwa DSN-MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 dan Akad Jual Beli Istishna Paralel, mengacu pada fatwa DSN-MUI No. 22/DSN-MUI/III/2002;

Akad Istishna adalah akad pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni’) dan penjual atau pembuat (shani’).11 Dalam sebuah kontrak bai’ al istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak = istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak baru ini dikenal sebagaiistishna’ paralel. Istishna’ paralel adalah suatu bentuk akad istishna’ antara pemesan (pembeli, mustashni) dengan penjual (pembuat, shani’), kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada mustashni’, penjual memerlukan pihak lain sebagai shani.12 Hak Khiyar pada akad istishna bukan saat transaksi dilakukan sebagaimana akad lainnya, namun hak khiyar dilakukan setelah barang jadi. Dalam kasus ini terkadang sulit implementasi apabila nasabah melakukan hak khiyar pada prakteknya, karena jaminan sudah terlanjur diikat dan uang angsuran telah terbayar lunas walaupun dalam fatwa ketetapan kedua  angka 7 menyebtkan “Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.”13 Maka pemilihan akad istishna memerlukan keterbukaan dan kejujuran tinggi sebelum dilakukannya transaksi.  Perbankan syariah cenderung melakukan transaksi istishna’ paralel. Selain bank dilarang terjun dalam bisnis riil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, hal ini juga dapat dipahami karena:14

1) Kegiatan istishna’ oleh bank syariah merupakan akibat dari adanya permintaan barang tertentu oleh nasabah, dan

2) Bank syariah bukanlah produsen dari barang dimaksud.

c. Akad Jual beli Salam, mengacu pada fatwa DSN-MUI No. 05/DSN-MUI/IV/2000;

Salam adalah jual beli suatu barang dengan pemesanan sesuai dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran harga barang terlebih dahulu secara penuh.15 Para fuqaha’ memberi definisi tentang jual beli salam berbeda beda. Fuqaha’ Hanafiyah mendefinisikan jual beli salam adalah membeli sesuatu yang diberikan kemudian dengan pembayaran sekarang. Di kalangan fuqaha’ Malikiyah memberi definisi jual beli salam dengan akad jual beli dengan mengerjakan sesuatu yang masih dalam tanggungan. Fuqaha’ Syafi‘iyah mendefinisikan salam adalah jual beli barang yang ditentukan sifatnya yang masih dalam tanggungan.16 Dalam transaksi Bai’ as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan ucapan (sighot). Bai’ as Salam berbeda dengan ijon, sebab pada ijon, barang yang dibeli tidak diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli sangat tergantung kepada keputusan si tengkulak yang mempunyai posisi lebih kuat. Landasan diperbolehkan jual beli Salam terdapat dalam QS Al Baqarah ayat (282):

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبُۢ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَلَا يَأۡبَ كَاتِبٌ أَن يَكۡتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُۚ فَلۡيَكۡتُبۡ وَلۡيُمۡلِلِ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبۡخَسۡ مِنۡهُ شَيۡ‍ٔٗاۚ فَإِن كَانَ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ سَفِيهًا أَوۡ ضَعِيفًا أَوۡ لَا يَسۡتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهُۥ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ وَلَا يَأۡبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُواْۚ وَلَا تَسۡ‍َٔمُوٓاْ أَن تَكۡتُبُوهُ صَغِيرًا أَوۡ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقۡوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَرۡتَابُوٓاْ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةٗ تُدِيرُونَهَا بَيۡنَكُمۡ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَلَّا تَكۡتُبُوهَاۗ وَأَشۡهِدُوٓاْ إِذَا تَبَايَعۡتُمۡۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٞ وَلَا شَهِيدٞۚ وَإِن تَفۡعَلُواْ فَإِنَّهُۥ فُسُوقُۢ بِكُمۡۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٢٨٢ 

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali jika mu´amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Aplikasi Bai’ as Salam pada Lembaga Keuangan Syariah biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan.17

e. Akad Ijarah, mengacu pada fatwa DSN-MUI No. 112/DSN MUI/IX/2017 dan Akad Ijarah Muntahiyayah bi al-tamlik, mengacu pada fatwa DSN-MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002;

Ijarah adalah pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.18. Syarat transaksi ijarah adalah:19

1) Penentuan harga pada saat penyerahan barang  ﻦﻤﺜﻟﺍ ﻢﻴﻠﺴﺗ ﻦﻴﻌﻟﺍ ﻢﻴﻠﺴﺘﺑ Nilai (nominal) ijarah perlu ditentukan pada saat kontrak, khususnya ketika transaksi barang / jasa dilakukan. Adapun urgensi dari syarat ini adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Ala’ Eddin Khorafa: “The rent money also has to be specified to avoid deceit and dispute”. Jumlah uang sewa harus ditentukan untuk menghindari kecurangan dan perselisihan.

2) Barang ataupun jasa yang di-ijarah-kan merupakan barang dan jasa yang tidak bertentangan dengan aturan-aturan Islam. Barang haram (seperti minuman keras, babi, dll.) serta jasa terlarang (seperti pencurian, pembunuhan) tidak dapat di-ijarah-kan. Demikian pula dengan pembayaran ijarah (ujrah) juga mengikuti aturan ini.

3) Utilitas (nilai manfaat) barang atau jasa yang di-ijarahkan harus riil/nyata. Jika utilitas tersebut belum eksis pada saat kontrak, ia harus tetap riil. Utilitas barang ataupun jasa bisa saja tidak eksis pada saat kontrak, namun untuk menjaga agar transaksi tersebut tidak bersalin rupa menjadi gharar, maka keberadaan prasyarat (condition) merupakan sebuah keharusan.

Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah Ijarah yang disertai dengan janji pemindahan kepemilikan (wa’d) setelah masa Ijarah selesai.20 Akad IjarahMuntahiya Bittamlik (IMBT) merupakan kombinasi antara akad sewa (ijarah) dengan hak opsional jual beli atau hibah di akhir masa sewa yang sifatnya tidak mengikat. Meski terjadi perbedaan pendapat apakah Ijarah Muntahiya Bittamlik termasuk kedalam akad gabungan (murakab) yang dilarang oleh Nabi atau bukan, namun mayoritas ulama sepakat untuk memperbolehkan praktik akad/perjanjian Ijarah Muntahiya Bittamlik. Sementara itu Ijarah Muntahiya Bittamlik jika ditinjau dari perspektif hukum positif (KUHPerdata), akad Ijarah Muntahiya Bittamlik merupakan perjanjian tidak bernama (Pasal 1319) yang timbul dari asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338) dan perjanjian Ijarah Muntahiya Bittamlik juga telah memenuhi syarat-syarat sah dari perjanjian (Pasal 1320) serta unsur-unsur perjanjian lainnya. Sedangkan akibat hukum yang ditimbulkan dari akad perjanjian Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah adanya hak dan kewajiban bagi mereka yang melakukannya21. Pembiayaan Multijasa hanya boleh menggunakan akad-akad berikut ini:

a. Akad ijarah, mengacu pada fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 dan No. 112/DSN-MUI/IX/2017;

b. Akad Ijarah Multijasa, mengacu pada fatwa DSN-MUI No. 44/DSN-MUI/VIII/2004;

c. Akad Kafalah, mengacu pada fatwa DSN-MUI No. 11/DSN-MUI/IV/2000; Dalam fikih muamalah, jaminan ganti rugi disebut dengan al-dhamân atau al-kafâlah dalam istilah perasuransian dikenal dengan jaminan pertanggungan atau kafâlah dan risk sharing, dalam dunia perbankan disebut dengan bank guaranty atau al-dhamân al-masrafî, namun apabila sudah berbentuk kontrak seperti surat berharga, dokumen, atau sertifikat kepemilikan disebut dengan collateral security.22

Ketetapan keempat fatwa tersebut juga memutuskan mengenai ketentuan kesesuaian objek akad dengan akad yang akan digunakan. Terkait obkek akad, fatwa membagi menjadi 3 bagian yaitu:

a. atas objek barang atau sejumlah barang;

b. atas jasa atau sejumlah jasa;

c. atas suatu barang, barang yang sama atau berbesa (ragam), dan kombinasi antara barang dan jasa dengan ketentuan: 1.) Apabila kombinasi antara barang dan jasa lebih dominan barang maka akad yang digunakan adalah akad jual beli dengan berbagai derivasinya; 2. Apabila kombinasinya lebih dominan jasa maka akad yang digunakan adalah akad ijarah atau akad kafalah;

Penutup

            Draf DSN-MUI No. 121/DSN-MUI/II/2018 tentang Pembiayaan Multimanfaat mempunyai cita-cita mengisi kekosongan hukum akan produk-produk kombinasi antara pembiayaan berobjek barang dan jasa. Apabila LKS melakukan transaksi pembiayaan dengan objek barang atau macam-macam barang atau kombinasi antara barang dan jasa namun dominan barang, maka akad yang harus dipakai adalah akad jual beli barang dengansegala derivasinya. Derivasi tersebut adalah akad murabahah, istishna, istishna paralel, salam, ijarah, dan IMBT. Namun apabila melakukan transaski jasa atau sejumlah jasa atau kombinasi antara jasa dan barang namun dominan jasa, maka akad yang boleh dipaki hanyalah akad ijarah dan akad kafalah.


  1. Frank E. vogel dan Samuel L. Hayes, Hukum Keuangan islam, (Bandung: Nusamedia, 2007), hlm. 42-43. ↩︎
  2. Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 58-59. ↩︎
  3. Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2015), hlm. 2-3. ↩︎
  4. Nashihul Ibad Elhas, Produk Standar Ekonomi Syariah dalam Kilas Sejarah, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2015), hlm. 28. ↩︎
  5. Nur Fathoni, “Konsep Jual Beli dalam DSN-MUI”, Economica 4, 1 (2013), hlm. 51. ↩︎
  6. Fatwa DSN-MUI No. 110/DSN-MUI/IX//2017 tentang Jual Beli ↩︎
  7. Ibid. ↩︎
  8. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah, Pasal 1 angka 11. ↩︎
  9. Muhammad Maksum, “Penerapan Hukum Jaminan Fidusia Dalam Kontrak Pembiayaan Syariah”, Cita Hukum 3, 1 (2015), hlm. 6. ↩︎
  10. Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. ↩︎
  11. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/19/DKMP ↩︎
  12. Erina Maulidha dan Asrul Aminulloh, ”Perekayasaan Akuntansi Istishna’ pada produk Pembiayaan Apartemen”, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Islam 1, 1 (2013), hlm. 83. ↩︎
  13. Fatwa DSN-MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Mal Beli Istishna.. ↩︎
  14. Erina Maulidha dan Asrul Aminulloh, ”Perekayasaan Akuntansi Istishna’ pada produk Pembiayaan Apartemen”, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Islam 1, 1 (2013), hlm. 84. ↩︎
  15. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah, Pasal 1 angka 12. ↩︎
  16. Ahmad Syaichoni, “Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Bay’ Al-Salam Dan E-Commerce”, Ahkam 3, 2 (2015), hlm. 223. ↩︎
  17. Qusthoniah, “Analisis Kritis Akad Salam Di Perbankan Syariah”, Jurnal Syari’ah 5, 1 (2016), hlm. 92. ↩︎
  18. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah, Pasal 1 angka 18. ↩︎
  19. Dwi Surya Atmaja, “Leasing (Problematika Praktek Al Ijarah Kontemporer)”, Khatulistiwa 2, 1 (2012), hlm. 66. ↩︎
  20. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah, Pasal 1 angka 18. ↩︎
  21. Nasrullah Ali Munif, “Analisis Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif Di Indonesia”, Ahkam 4, 1 (2016), hlm. 78. ↩︎
  22. Desmadi Saharuddin, “Asas Indemnitas dan Kafâlah dalam Asuransi Syariah”, Al-Iqtishad 5, 1 (2013), hlm. 148. ↩︎

Daftar Pustaka

Buku:

Frank, E.Vogel dan Samuel L. Hayes, Hukum Keuangan Islam, Bandung: Nusamedia, 2007.

Djamil, Fathurrahman, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Hidayat, Enang, Fiqih Jual Beli, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2015.

Elhas, Nashihul Ibad, Produk Standar Ekonomi Syariah dalam Kilas Sejarah, Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2015.

Jurnal:

Fathoni, Nur, Konsep Jual Beli dalam DSN-MUI, “Economica” Volume 4 No. 1 Tahun 2013.

Maksum, Muhammad, Penerapan Hukum Jaminan Fidusia Dalam Kontrak Pembiayaan Syariah, “Cita Hukum” Volume 3 Nomor 1 Tahun 2015.

Maulidha, Erina dan Asrul Aminulloh, Perekayasaan Akuntansi Istishna’ pada produk Pembiayaan Apartemen, “Akuntansi dan Keuangan Islam” Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013.

Syaiconi, Ahmad, Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Bay’ Al-Salam Dan E-Commerce, “Ahkam” Volume 3 Nomor 2 Tahun 2015

Qusthoniah, Analisis Kritis Akad Salam Di Perbankan Syariah, “Jurnal Syari’ah” Volumen 5 Nomor 1 Tahun 2016.

Atmaja Dwi Surya, Leasing (Problematika Praktek Al Ijarah Kontemporer), “Khatulistiwa” Volume 2 Nomor 1 Tahun 2012.

Munif, Nasrullah Ali, Analisis Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif Di Indonesia, “Ahkam” Volumen 4 Nomor 1.

Saharuddin, Asas Indemnitas dan Kafâlah dalam Asuransi Syariah, “Al-Iqtishad” Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013.

Shaeruddin, Asas Indemnitas dan Kafâlah dalam Asuransi Syariah, “Al-Iqtishad” Volume 5 Nomor 1 Tahun 2013.

Peraturan:

Fatwa DSN-MUI No. 110/DSN-MUI/IX//2017 tentang Jual Beli

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah

Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/19/DKMP

Fatwa DSN-MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Mal Beli Istishna.


Kantor Hukum Jogjalawkarta adalah kantor pengacara yang telah menangani berbagai perkara hukum baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata sejak tahun 2018 seperti pendampingan perkara perdata, cerai talak, gugat cerai, permohonan dispensasi kawin, gugatan hak asuh anak, permohonan penetapan ahli waris, sengketa wanprestasi/perbuatan melawan hukum, pendampingan perkara pidana, mediasi, negosiasi, dan masih banyak lagi. Selain itu Kantor Hukum Jogjalawkarta telah membantu berbagai industri dan bisnis dalam memberikan solusi hukum terbaik yang berkaitan dengan peraturan-peraturan di Indonesia.

Untuk informasi lebih lengkapnya anda dapat menghubungi kami via :
WhatsApp : (0812-1080-4902)
Instagram : @jogjalawkarta
Facebook : Jogjalawkarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *