Wasiat Oleh Debitur Pailit

Dalam dunia usaha, suatu perusahaan garis hidupnya bisa untung dan berkembang pesat, namun disisi lain juga bisa menderita rugi dan grafiknya menurun bahkan acapkali kondisi keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga tidak sanggup lagi membayar hutang-hutangnya dan dinyatakan pailit. Banyak perusahaan maupun perorangan yang dinyatakan pailit oleh pengadilan karena tidak membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo.  

Pailit sendiri ialah sebuah sita umum harta debitur pailit demi membayar hutang-hutangnya kepada kreditur. Sita Umum harta ini dalam praktek pengurusannya dilakukan oleh kurator, sebagai pengampu atas harta debitur dimana dalam hal ini debitur yang telah ditetapkan pailit oleh pengadilan dianggap sudah tidak cakap untuk mengurus harta kekayaannya sehingga harus diurus oleh kurator.

Dalam sebuah kepailitan dipergunakan pembuktian sederhana yang hanya meliputi syarat adanya dua kreditur atau lebih serta minimal satu hutang telah jatuh tempo. Pada hakim tidak diberi ruang yang luas untuk menghakimi sehingga misalnya hakim beranggapan keuangan debitur masih solven tetapi jika syarat pembuktian sudah terpenuhi, maka hakim “harus menyatakan pailit” bukan dapat menyatakan pailit.

Sekaitan dengan harta seseorang atau yang menjadi harta peninggalannya jika ia telah meninggal dunia, wasiat sangatlah diperlukan disini. Wasiat sebagai perencanaan keuangan seseorang harus dibuat sesuai dengan akta otentik dan mekanisme yang berlaku agar dapat membantu pewaris untuk membagikan hartanya dengan baik tanpa mengakibatkan perselisihan diantara ahli warisnya dan meminimalisir celah hukum bagi orang-orang yang ingin mengambil seluruh harta warisan demi kepentingannya sendiri, oleh karena itu pembuatan surat wasiat mensyaratkan juga kecakapan si pewasiat dalam melakukan perbuatan hukum atau perbuatan dan batasan-batasan lainnya. 

Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum bagi orang yang pailit atau diampu sudah dicabut sehingga tidak dapat melakukan perbuatan hukum. Persoalannya disini ialah bagaimana jika harta seseorang yang telah diwariskan lewat sebuah surat wasiat namun sebelum atau sesudah tercapainya hal tersebut harta tersebut kemudian termasuk dalam sita umum kepailitan? Menarik untuk dikaji bagaimana keabsahan wasiat dari debitur “yang kemudian” pailit?

Analisis Hukum

Hukum Perdata mengatur pembagian warisan dengan 2 metode, secara undang-undang dan secara testamenter (pewasiatan). Ahli waris testamenter atau berdasarkan surat wasiat ditunjuk sesuai kehendak pembuat wasiat, yakni seorang atau beberapa orang ahli waris untuk mendapatkan seluruh maupun beberapa bagian dari harta peninggalannya. Surat wasiat haruslah sebuah akta otentik dan didaftar di pusat daftar wasiat Ditjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM sehingga mengikat pihak ketiga (asas publisitas).

 Menurut Prof Subekti dalam bukunya Hukum Waris Perdata, mewaris didefinisikan sebagai penggantian hak dan kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia yang meliputi hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan. Oleh karena harta yang ditinggalkan oleh pewaris tidak hanya berupa kekayaan saja namun bisa juga pasiva, warisan utang. 

Berkaitan dengan kepailitan yang merupakan sita umum atas harta kekayaan debitur, segala pengurusan harta kekayaan debitur diampu oleh kurator yang diputuskan pengadilan pun debitur kehilangan statusnya sebagai pihak yang “cakap” untuk melakukan perbuatan hukum.

Dalam hukum kepailitan dikenal adanya asas “actio pauliana” yakni upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan debitur untuk kepentingannya bilamana dapat merugikan para krediturnya. Perbuatan yang merugikan kreditor ini tidak wajib dilakukan serta dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun. Jika perbuatan hukum yang debitur lakukan sebelum putusan pailit merugikan kreditur, sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut merugikan kreditur dan dapat dibuktikan maka dapat dimintakan pembatalan seperti tercantum pada pasal 41 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU): 

(1) Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitur yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

(2)  Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, Debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditur.

(3)  Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan hukum Debitur yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang.

Akibat hukumnya, setiap orang yang telah menerima benda yang merupakan bagian dari harta debitur yang tergolong perbuatan hukum yang dibatalkan, maka harus mengembalikan benda tersebut kepada kurator dan dilaporkan kepada hakim pengawas. Jika orang tersebut tidak dapat mengembalikan benda yang telah diterima dalam keadaan semula, wajib membayar ganti rugi kepada harta pailit. 

Dalam kasus pailit badan hukum perseroan terbatas (PT), harta kekayaan PT dan dewan direksi atau pemegang saham adalah terpisah, (Pasal 8 ayat (2) UU No 40 Tahun 2007 tentang PT) oleh karena itu jika direksi telah menjalankan PT dengan prinsip kehati-hatian dan tidak ada kelalaian maka tanggung jawabnya hanya sebatas harta kekayaan PT tersebut, yakni hanya sebatas yang disetorkan dalam bentuk kepemilikan saham. Adapun dalam hal harta kekayaan PT tidak cukup untuk membayar hutang-hutangnya karena kesalahan atau kelalaian direksi maka setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggungjawab atas kewajiban yang belum dilunasi (Pasal 104 ayat (2) UU No 40 Tahun 2007 tentang PT).

Jika harta warisan sudah diterima apakah bisa dilakukan pembatalan atau penerima waris berkewajiban melunasi hutang pemberi wasiat yang adalah debitur pailit, mengingat penerima warisan dalam hal ini adalah pewarisan berdasar wasiat? 

Menurut J. Satrio dalam bukunya Hukum Waris, bahwa di dalam Pasal 874 KUHPerdata tersimpul suatu asas penting hukum waris. Yaitu bahwa ketetapan pewarisan berdasarkan undang-undang baru berlaku, kalau pewaris, tidak/telah mengambil suatu ketetapan yang menyimpang mengenai harta peninggalannya, ketetapan mana harus dituangkan dalam bentuk surat wasiat. Dengan kata lain kehendak pewaris didahulukan. 

Pada kasus wafatnya debitur pailit dalam keadaan berhenti membayar utangnya, atau harta warisan debitur tidak cukup untuk membayar utangnya, maka debitur yang telah meninggal dunia dapat dinyatakan pailit atas harta kekayaannya apabila diajukan oleh para krediturnya. Ketentuan dalam Undang-Undang Kepailitan mengatur bahwa permohonan pernyataan pailit harus diajukan paling lambat 90 (Sembilan puluh) hari (Pasal 210 UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU) setelah debitur meninggal. Pernyataan pailit berakibat dipisahkannya harta kekayaan pihak yang meninggal dari harta kekayaan bagi ahli waris (Pasal 1107 KUHPerdata).

Ada beberapa pertimbangan dalam menentukan keabsahan suatu wasiat yang hartanya bersumber dari debitur pailit:     

1) Putusan pernyataan pailit sejatinya tidak mengakibatkan semua kecakapan debitur hilang, ketidakcakapannya hanya untuk melakukan perbuatan hukum dalam hal pengurusan harta kekayaannya. Berwasiat adalah perbuatan hukum dan berkaitan dengan harta kekayaan. Namun karena berwasiat adalah peralihan harta yang sifatnya terjadi paska wafatnya pemberi waris, sedangkan pada saat berwasiat belum ditemukan indikator akan pailitnya pewasiat ini tentunya status pewasiat masih cakap dan mampu melakukan perbuatan hukum. 

2) Dalam hal kepailitan badan hukum perseroan dimana adanya pemisahan harta kekayaan direksi dan perusahaan, kepailitan badan hukum tidak berarti kepailitan direksi pribadi. Pasal 24 ayat 1 UU Kepailitan berbunyi “Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaan yang termasuk dalam harta pailit sejak tanggal putusan pernyataan diucapkan.” Dalam hal ini hanya kekayaan PT yang termasuk harta pailit.

3) Kondisi pailit yang diakibatkan kelalaian direksi PT, maka direksi PT bertanggungjawab penuh secara pribadi (Pasal 97 UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT)) dan tanggung renteng (Pasal 104 ayat (2) UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT)) atas kewajiban yang tidak terpenuhi dengan harta pailit PT.

4) Pewarisan menurut wasiat dapat digolongkan pada 2 jenis yakni, secara bentuknya ialah erfstelling (alas hak umum) dan legaat/hibah wasiat (alas hak khusus) maupun untuk subyeknya kepada ahli waris dan kepada selain ahli waris.

5) Ahli waris dan orang yang diwasiatkan diperkenankan untuk menolak harta peninggalan (Pasal 1085 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Oleh karena itu penulis menilai, dalam hal pailit perorangan setelah putusan pailit jelas tidak dimungkingkan seorang debitur berwasiat karena tidak memenuhi unsur “cakap”, namun jika perbuatan sebelum pailit dikaitkan dengan pembatalan pasal 41 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU, perbuatan wasiat tersebut bukanlah perbuatan yang wajib sehingga bisa dibatalkan, adapun perbuatan wasiat pada pailit badan hukum adalah perbuatan yang sah karena adanya pemisahan harta kekayaan sepanjang tidak terbukti adanya kelalaian yang dimaksud dalam pasal 97 UU No 40 Tahun 2007 tentang PT. Wasiat dalam pengangkatan ahli waris (erfstelling) dan yang ditujukan kepada ahli waris dapat diterima dengan konsekuensi membayar hutang pewasiat, adapun untuk wasiat kepada selain ahli waris dapat dibatalkan. Untuk wasiat harta peninggalan yang telah diterima sejak sebelum pailit dapat dikenakan pembatalan dengan membayar ganti rugi kepada harta pailit.

PUSAT ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM NASIONAL BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Oleh : Yusuf Zainal Abidin S.H (Analis Hukum Kementerian Hukum dan HAM R.I)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *