JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA

Pengertian Justice Collaborator terdapat dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyatakan “Saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama”. Peran Justice Collaborator yaitu seseorang sebagai tersangka namun bukan pelaku utama dan dapat membongkar orang yang terlibat di atasnya. Dalam hal ini, sekalipun pelaku telah melakukan tindak pidana namun ia juga mendapat keringanan suatu proses pembongkaran fakta dan keadilan. Konsep dasar Justice Collaborator adalah upaya bersama untuk mencari kebenaran dalam rangka mengungkap keadilan yang hendak disampaikan kepada Masyarakat. Pencarian kebenaran secara bersama-sama itulah konteks collaborator dari dua sisi yang diametral berlawanan: penegak hukum dan pelanggar hukum.

Untuk menentukan seseorang sebagai Justice Collaborator, sesuai SEMA No. 04 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) sebagai berikut:

  1. Pelaku tindak pidana khusus
  2. Mengakui kejahatan yang dilakukan
  3. Bukan pelaku utama
  4. Bersedia menjadi saksi dalam proses persidangan
  5. Jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang terlibat memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan. 

Adapun penggunaan Justice Collaborator dalam peradilan pidana merupakan salah satu bentuk upaya yang luar biasa (extraordinary crime) yang digunakan untuk memberantas tindak pidana kejahatan yang melibatkan pelaku tindak. Lembaga yang memberikan perlindungan hukum terhadap seorang Justice Collaborator yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Apabila keterangan yang diberikan oleh Justice Collaborator diatas sumpah tersebut palsu, maka ancaman pidana yang dijatuhkan sama dengan saksi biasa yaitu pelanggaran pidana materiil pada Pasal 242 KUHP dan akan mendapat ancaman hukuman penjara 7 sampai 9 tahun penjara dan Pasal 174 KUHP yang mengatur tentang keterangan saksi yang disangka palsu, kemudian harus dicatat dalam berita acara sidang. 

Sumber:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *