Legitimasi Penggunaan “Debt Collector” di Perusahaan Pembiayaan Syariah dalam Proses Eksekusi Jaminan

Oleh : Perdana Nur Ambar Setyawan

Abstrak :
Perkembangan dunia ekonomi syariah mengalami kemajuan signifikan pada abad XX ini. Tak terkecuali di Indonesia dengan dimulainya kemunculan bank – bank syariah dan disusul dengan sektor bisnis keuangan lainnya seperti asuransi syariah, pasar modal syariah, dan leasing syariah. Pembiayaan Syariah (Leasing) menjadi pilihan masyarakat dalam pengadaan barang khususnya kendaraan karena prosesnya cepat, sederhana, dan mudah. Tak ubahnya bisnis pembiayaan lainnya yang berujung pada pemberian kredit, dalam sistem leasing syariah juga dimulai dari penandatanganan akad/kontrak, pengikatan jaminan secara fidusia, dan penyerahan kendaraan kepada nasabah. Pembeda dari Pembiayaan syariah terletak pada akad dan asas ekonomi Islam yang melekat pada proses bisnis tersebut. Kepercayaan adalah dasar utama bisnis pembiayaan, baik nasabah maupun pihak leasing sama-sama mengharapkan angsuran akan selesai tepat waktu tanpa adanya tunggakan pembayaran. Namun, terkadang ada beberapa nasabah yang mengalami kegagalan pembayaran angsuran kendaraan pada perusahaan leasing. Di sinilah perusahaan akan mengambil langkah-langkah penyelamatan pembiayaan tersebut, salah satunya melakukan eksekusi jaminan Fidusia. Proses eksekusi dimulai dari pelayangan surat peringatan kepada nasabah hingga penarikan kendaraan jaminan oleh debt collector guna kelancaran proses penjualan jaminan. Terkadang penarikan tersebut menjadi sedikit keras karena nasabah enggan menyerahkan barang jaminan tersebut kepada debt collector, padahal legitimasi tindakan debt collector ada dasarnya, baik dipandang dari Hukum Islam, maupun Hukum Positif yang berlaku di Indonesia.
Kata Kunci: Pembiayaan Syariah, Debt Collector, Jaminan Fidusia.

A. Pendahuluan
Pilihan berbisnis secara syariah semakin populer di Indonesia. Hal ini ditandai dengan dengan ekspansi perusahaan perbankan ke unit atau cabang syariah di awal abad XX.. Setiap tahun ekspansi menunjukan peningkatan yang semakin pesat, dari tahun 1992 hingga akhir Desember 2006, sedikitnya terdapat 3 (tiga) Bank Umum Syariah dan 20 (duapuluh) Unit Usaha Syariah1. Dewasa ini lahan bisnis ekonomi syariah tidak hanya merambah di dunia perbankan, namun sudah ke sektor lainnya salah satunya bisnis pembiayaan syariah atau “leasing” yang biasa dikenal dalam masyarakat. Leasing sebagai kegiatan usaha dapat dikatakan masih baru yaitu baru dipakai pada tahun 1974 di Indonesia.2 Menurut Peraturan Perundang-Undangan, Perusahaan Pembiayaan Syariah adalah Perusahaan Pembiayaan yang seluruh kegiataan usahanya melakukan pembiayaan syariah, sedangan Unit Usaha Syariah adalah unit kerja dari kantor pusat perusahaan pembiyaan yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang melaksanakan pembiayaan syariah.3 Industri yang bergerak di bidang pembiayaan syariah per-Januari 2018 sejumlah 7 perusahaan dan 37 unit usaha syariah dengan total aset Rp 33.606.000.000,- .4 Pembiayaan syariah bisa dinikmati siapa saja tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan, serta dapat diberlakukan di mana saja. Pendekatan personal manusiawi akan diutamakan dalam hal menyelesaikan masalah dalam lembaga pembiayaan syariah.5 Banyak masyarakat yang menganggap bahwa lembaga keuangan yang berlabelkan syariah hanya untuk umat muslim saja, padahal dalam kelembagaan keuangan syariah tidak mengenal asas personalitas Islam. Jika kita menengok ke belahan dunia luar, justru pusat Islamic Bank terbesar ada di negara Inggris. Walaupun produk-produk perjanjian yang digunakan dalam proses bisnis di lembaga pembiayaan syariah banyak yang menggunakan istilah bahasa
Arab bukan berarti menjadikan hal itu mutlak mengharuskan nasabah beragama Islam. Seperti yang sudah diketahui secara umum bahwa tujuan syariat Islam adalah untuk kemashlahatan manusia seluruhnya, baik kemashlahatan di dunia ataupun di akherat. Hal ini berdasarkan Firman Allah dalam QS Al Anbiya ayat (107):6

107.Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi: Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Usaha kartu Kredit, dan Pembiayaan Konsumen.7 Beberapa kegiatan usaha tersebut disesuaikan dengan bisnis model syariah menggunakan akad akad misalnya murabahah, rahn, musyarakah, hiwalah, dan ijarah. Pola bisnis pembiayaan dimulai dengan adanya penawaran dari perusahaan pembiayaan (lessor) kepada (leese) diwujudkan dalam suatu formulir permohonan pembiayaan. Di beberapa perusahaan leasing mereka menggandeng dealer-dealer kendaraan, sebut saja seperti PT. Adira menggandeng PT. FIF, jadi saat customer melihat kendaraan di showroom sekaligus disodori brosur tabel angsuran pembelian kendaraan tersebut. Saat ini Otoritas Jasa Keuangan memangkas FTV (Financing To Value) untuk kredit kendaraan bermotor roda dua yang semula 20% menjadi hanya 15% bagi perusahaan pembiayaan konvensional, 10% bagi perusahaan pembiayaan syariah. Kredit kendaraan bermotor roda empat tujuan produktif yang semula 20% menjadi hanya 15% bagi perusahaan pembiayaan konvensional dan perusahaan pembiayaan syariah. Kredit kendaraan bermotor roda empat tujuan konsumtif yang semula 25% menjadi hanya 20% bagi perusahaan pembiayaan konvensional dan perusahaan pembiayaan syariah.8 Itu berarti seorang customer yang ingin membeli sepeda motor seharga Rp10.000.000,- hanya dikenakan Uang Muka (Down Payment) Rp1.000.000,- dibanding nasabah mengambil kredit kendaraan bermotor melalui bank yang saat ini FTV nya masih di angka 20%. Didukung dengan demografi penduduk Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam, menjadikan keberadaan perusahaan pembiayaan syariah semakin digemari, disamping regulasi-regulasi di atas yang juga ikut mendongkrak laju iknklusi keuangan syariah khusunya bidang leasing . Proses berikutnya setelah customer menentukan jenis kendaraan yang diinginkan dan setelah membayar Uang Muka /Urbun adalah penandatanganan akad pembiayaan kendaraan. Lembaga Pembiayaan dalam membuat kontrak-kontrak harus menyesuaikan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, walupun dikenal asas kebebasan berkontrak. Pasal 1313 BW mengatakan bahwa perjanjian adalah: “Suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”.9 Perjanjian Pembiayaan baru bisa dikatakan sah bila memenuhi unsur-unsur yang ada dalam pasal 1320 BW, yaitu:10 (1) Adanaya kesepakatan kedua belah pihak, (2) kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, (3) adanya objek, (4) adanya causa halal. Sehingga perjanjian yang telah dibuat berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang terikat di dalamnya atau dikenal dengan asas Pacta Sub Servanda. Islam memandang sebuah kontrak/perjanjian khususnya dalam hal bisnis bukan hanya bersifat mengikat, namun berlaku sebagai hukum yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang membuat sebagaimana firman Allah dalam QS Al Maidah ayat (1):11

Dalam menjamin pengembalian pinjaman atau terselesaikannya angsuran tepat pada waktunya, perusahaan pembiayaan memasang perjanjian tambahan yaitu perjanjian jaminan fidusia. Jaminan Fidusia termasuk jaminan kebendaan yang menjamin pelunasan hutang bagi debitur yang mengalami gagal bayar. Lembaga Fidusia menurut sejarah mempunyai penyebutan yang bermacam-macam, misalnya pada Zaman Romawi disebut “Fiducia Cum Creditore”. Asser menyebutnya “zekerheids eigendom”. A Ven Hoeven menyebutnya “eigendomsoverdracht tot zekerheid”.12 Secara istilah Indonesia, Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.13 Pada umumnya yang dapat menjadi objek fidusia adalah benda benda bergerak, baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada, misalnya: perkakas rumah tangga, kendaraan bermotor, alat-alat pertanian, timbunan tembakau dalam gudang, dan persediaan-persediaan barang di toko.14 Tidak semua pembiayaan yang berjalan mengalami kelancaran dalam pembayarannya, namun ada beberapa yang macet. Di situlah fungsi jaminan fidusia muncul sebagai jalan terakhir pelunasan hutang debitur melalui eksekusi. Sifat Jaminan Fidusia sudah memiliki titel eksekutorial yaitu pencantuman kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa”, sehingga proses eksekusi tidak perlu melalui mekanisme pengadilan yang panjang serta melelahkan. Pencantuman titel eksekutorial tersebut menimbulkan akibat hukum yaitu disamakan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.15 Seorang ahli hukum Belanda Fasevur mengatakan bahwa hak yang didahulukan dalam piutang istimewa dan berasal dari undang-undang dikenal namanya dengan “privilege”.16 Selain hak “privilege” tersebut, Pemegang Jaminan Fidusia diberikan hak “Parate Executie”, eksekusi langsung berdsarkan kekuasan sendiri.17 Undang –Undang No 42 Tahun 1999 tentang Fidusia khususnya Pasal 15 ayat (3) secara jelas mengatakan: “Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.” Selanjutya dalam Pasal 30 Undang Undang yang sama mengatakan bahwa: “Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang obyek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia”. Kedua pasal tersebut memberikan legitimasi penuh bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah untuk menggunakan jasa pihak ketiga ataupun pegawainya sendiri yang berfungsi sebagai “debt collector”. Namun, legitimasi tersebut mengandung beberapa ketentuan yang harus terpenuhi baik secara materiil ataupun formil. Dari paparan paparan di atas penulis ingin memberikan gambaran bahwa penggunaan pihak ketiga yaitu debtcollector adalah diperbolehkan dan dilindungi oleh hukum, Namun, di sisi lain penulis juga akan memaparkan perlindungan hukum yang seperti apa yang dapat dijadikan landasan debtcollector dalam penarikan jaminan dan bagaimana koridor-koridor batas tindakan penarikan jaminan di lapangan yang tidak menabrak tatanan hukum di Indonesia.

B. Pembahasan

  1. Tinjauan Perusahaan dan Akad Pembiayaan Syariah
    Hingga Desember 2005 telah berdiri 3 Bank Umum Syariah (BUS) dan 19 Unis Usaha Syariah (UUS) dari bank konvemsional18. Saat ini pilihan customer dalam memenuhi kebutuhan konsumtifnya berupa kepemilikan kendaraan bermotor ataupun barang-barang konsumtif lainnya tidak hanya terdapat lembaga perbankan, namun sudah banyak perusahaan-perusahaan leasing syariah yang juga menyediakan kebutuhan tersebut. Salah satu ciri pembeda perusahaan syariah dengan perusahaan yang berasaskan konvensional adalah aktivitas bisnis tidak hanya dilakukan sesama manusia, tetapi juga dilakukan antara manusia dengan Allah. Bisnis harus dilakukan dengan ketelitian dan kecermatan dalam proses administrasi perjanjian-perjanjian, dan bisnis tidak boleh dilakukan dengan penipuan atau kebohongan, hanya karena ingin memperoleh keuntungan.19 Pelaku Ekonomi, Produsen, dan Konsumen Bisnis Islam harus berusaha memaksimalkan mashlahah. Sebagai akibat dari aksioma ini, maka segala keadaan yang mengarah pada menurunnya nilai mashlahah selalu dihindari bahkan dicegah (aksioma quasi concavity). Sebaliknya keadaan dimana mashlahah-nya negatif disebut dengan mudharat. harus dihindari20 Dalam konteks inilah Al Qur’an menawarkan dengan keuntungan suatu bursa yang tidak pernah mengenal kerugian, sebagaimana Firman Allah dalam QS At Taubah ayat (111):21

Dorongan kebutuhan akan perusahaan pembiayaan yang bernafaskan syariah menggerakan Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan regulasi tentang Pembiayaan Syariah yaitu POJK No. 31/POJK.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah. Pembiayan Syariah memiliki 3 bisnis utama yaitu: Pembiayaan Jual Beli, Pembiayaan Investasi, dan Pembiayaan Jasa.22 Rincian akad-akad yang dapat digunakan oleh Pembiayaan Syarian untuk ketiga bisnis tersebut diatur dalam Pasal 4 POJK tersebut. Sejalan dengan Fikih Tradisional dalam isi POJK tersebut, terminologi fikih tradisional mengelompokkan akad-akad dalam bisnih syariah menjadi 6 kelompok besar. Mengutip kitab Fathul Qarib Al Mujib, kelompok akad tersebut adalah:23
a. Bay (Jual Beli), sebagai induk dari akad pembiayaan murabahah, salam, istishna;
b. Salam (Pemesanan), yang kemudian melahirkan akad Istishna;
c. Qirad atau Mudharabah, istilah mudharabah sering digunakan oleh penduduk Irak, sedangkan qirad merupakan istilah yang sering digunakan oleh penduduk Hijaz;24
d. Syirkah, sebagai embrio akad pembiayaan dengan pola musyarakah;
e. Ijarah, yang pada masa kini berkembang menjadi dua akad, yaitu Ijarah dan Ijarah Muntahiyah bi Tamlik (IMBT);
f. Wadiah, sebagai salah satu prinsip dan bentuk penitipan dalam akad-akad standar perbankan syariah di Indonesia;
Akad menjadi sendi terpenting dalam proses bisnis pembiayaan syariah karena akad adalah batasan-batas kehidupan manusia, yang berfungsi membatasi hubungan manusia, mengatur kehidupan manusia, mengatur kehidupan muamalah manusia seperti halnya akad hutang, atau janji-janji manusia terhadap Allah. Dalam terminologi para ahli hukum Islam, penulis
menyimpulkan bahwa akad adalah “ikatan yang terjadi akibat adanya ijab dan qabul dimana ia adalah ungkapan kehendak dua pihak yang berakad atau lebih dengan cara yang masyru’ sesuai Hukum Islam yang berkaibat hukum pada objeknya.”25. Seperti halnya dalam teori kontrak konvensional dikenal asas pacta sun sevanda, dunia Islam pun mengenal asas kebebasan berkontrak juga. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa: “Prinsip yang melandasi kontrak dan persyaratan adalah sifat kebolehan (ibaha) dan keabsahan. Setiap kontrak atau persyaratan dilarang dan batal selama ada ayat yang tegas (dari Al Qur’an, sunnah, dan Ijma’) atau Qiyaz (analogi) yang menunjukan pelarangan dan pembatalan.” 26 Islam memuliakan dan mensucikan akad-akad yang ada, dan memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menghormtinya walaupun akan dijalankan dengan orang non-muslim. 27 Di awal surat Al Maidah Allah berfirman:

Masih berkaitan dengan akad, Tiga Larangan Utama dalam pembuatan kontrak-kontrak di Perusahaan Pembiayaan syariah yaitu: Riba, Gharar, dan Perjudian. Poin-poin tersebut yang menentukan asas legal formal kesyariahan pembuatan akad disamping syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 BW28. Terlihat jelas bahwa perusahaan syariah tidak hanya berpedoman pada hukum-hukum konvensional bentukan Belanda saja dalam menentukan keabsahan suatu perjanjian bisnis pembiayaan. Setelah menelaah peraturan-peraturan yang mendasari pendirian Perusahaan Pembiayaan Syariah, dapat ditarik kesimpulan bahwa Perusahaan Pembiayaan Syariah adalah badan usaha yang melakukan kegiatan bisnis syariah dalam bentuk penyediaan dana secara langsung atau barang modal dengan tidak menarik atau menghimpun dana secara langsung dari masyarakat.29

  1. Lembaga Jaminan Fidusia Sebagai Pengaman Bisnis Pembiayaan Syariah

Modal utama bisnis pada pembiayaan syariah adalah adanya keyakinan kreditur terhadap debitur mampu membayar cicilan hingga lunas. Namun, terkadang pihak perusahaan sudah semaksimal mungkin menganalisa kelayakan nasabah, masih saja ada pembiayaan macet. Maka dari itu regulasi baik dai BI atau OJK mensyaratkan adanya suatu jaminan dalam memberikan kucuran pembiayaan. Produk utama Pembiayaan Syariah yang masih didominasi pembiayaan barang-barang konsumtif seperti kendaraan roda dua maupun roda empat, tepat sekali memilih instrumen lembaga jaminan fidusia sebagai langkah akhir dalam pengantisipasian gagal bayar debitur. Jaminan dalam nomenklatur hukum perdata di Indonesia ditemukan dalam Pasal 1131 KHUPer dan Penjelasan Pasal 8 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 30 Berdasarkan Lembaran Negara No.168 tahun 1999, tertanggal 30 September 1999, telah diundangkan di dalam Undang-Undang No.42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“Undang-Undang Jaminan Fidusia” / UU JF), yang terhitung sejak saat diundangkannya, maka secara yuridis formal lembaga jaminan fidusia yang dikenal selama ini dalam masyarakat, dan diterima dunia perbankan dan peradilan dengan sebutan Fiduciaire eigendomsoverdracht atau “FEO” (pengalihan hak milik secara kepercayaan), telah resmi masuk dalam jajaran hukum positif di Indonesia, dengan sebutan Undang-Undang Jaminan Fidusia.31 Jaminan dalam konteks hukum Indonesia mencakup jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan. Fidusia sendiri masuk ke dalam lingkup jaminan kebendaan. Jaminan Fidusia sendiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:32
a. Memberikan kedudukan yang mendahului kepada para kreditur penerima fidusia.
b. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan di tangan siapapun objek jaminan itu berada.
c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketiga dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.33 Fidusia dikatakan mugah dan pasti eksekusinya dikarenakan serttifikat fidusia yang telah diterbitkan memiliki kekuatan eksekutorial. Ciri tersebut terletak pada irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” di awal sertifikat Fidusia. Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi). Subekti berpendapat parate executie adalah menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi apa yang haknya dalam arti tanpa perantara hakim yang ditujukan atas suatu barang jaminan untuk selanjutnya menjual sendiri barang itu.34 Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.35 Bahkan eksekusi langsung dalam Fidusia lebih liar dari pada parate eksekusi Hak Tanggunan, jika dalam Hak Tanggungan mensyaratkan penjualan jaminan harus melalui pelelangan36, tidak begitu dengan jaminan fidusia, penjualan diperbolehkan tanpa melalui pelelangan umum. Pembiayaan Syariah pada prakteknya juga membutuhkan suatu instrumen pengaman atas pembiayaan yang dikucurkan, sehingga semua ketentuan perundang-undangan mengenai jaminan fidusia juga berlaku untuk Perusahaan Pembiayaan Syariah. Dewan Syari’ah Nasional (DSN) mengeluarkan fatwa Nomor 68/DSN-MUI/III/2008 yang sejalan dengan bentuk jaminan fidusia yaitu disebut dengan Rahn Tasjily. Rahn tasjily (disebut juga dengan Rahn Ta’mini, Rahn Rasmi, atau Rahn Hukmi) adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang, dengan kesepakatan bahwa yang diserahkan kepada penerima jaminan (murtahin) hanya bukti sah kepemilikannya, sedangkan fisik barang jaminan tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan dan pemanfaatan pemberi jaminan (rahin).37

3. Legitimasi Peran Debt Collector dalam Parate Eksekusi 2005 Pasal 15 ayat (3) UU JF berbunyi: “Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri” menjadi legitimasi Perusahaan Pembiayaan dalam mengambil barang jaminan yang ada di tangan debitur untuk dijual. Terlebih lagi diperjelas dalam Pasal 30 UU JF berbunyi: “Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang obyek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia.” yang terdapat frase “wajib” menambah kekuatan hukum pengambilan jaminan pembiayaan itu. Penyitaan dalam Islam telah ada sejak zaman Rasulullah SAW, pada saat itu Rasulullah menyita harta Muadz, kemudian menjualnya dan digunakan untuk melunasi hutang Muadz, seperti dalam hadis berikut ini:38 “Sesungguhnya Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam. pernah menyita harta Mu’adz dan menjualnya untuk membayar hutangnya.” (HR. ad-Daar al Quthni) Pelaksanaan pengambilan barang yang dijadikan jaminan fidusia terkadang menggunakan jasa pihak ketiga yang familiar disebut “debt collector” di masyarakat. Penggunaan Debt Collector dianggap sangat efisien, selain karena para Debt Collector tersebut memang relatif mempunyai banyak waktu untuk pekerjaan lapangan yang tidak memerlukan tugas-tugas administrasi, seperti tugas yang masih harus diemban oleh debt collettor dari karyawan interal. Selain itu juga para Debt Collector lebih mempunyai keahlian khusus dibanding para karyawan internal perusahaan sendiri.39 Namun banyak juga Debt Collector yang tindakannya justru berpotensi menimbulkan resiko hukum baik pidana maupun perdata misalnya melakukan tindak pidana penganiyaan, perampasan, dan penggelapan. Sehingga perlu diperjelas batasan-batasan tindakan atau hal-hal yang perlu dicermati dalam tindakan di lapangan oleh Debt Collector yaitu:
a. Utang telah jatuh tempo dan indikasi wan prestasi telah terjadi. Merujuk pada Pasal 1155 BW:40
1) Setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau. Hal ini merujuk pada anak kalimat “…selelah lampaunya jangka waktu yang ditentukan … “
yang tertuju pada perjanjian dengan batas akhir (verval termijn);
2) Setelah dilakukan peringatan (somasi) untuk membayar, dalam hal perjanjian yang tidak ditentukan mengenai tenggang waktu. Hal ini merujuk pada anak kalimat: “…atau selelah dilakukan peringatan untuk pemenuhan janji dalam hal tidak ada ketentuan tentang jangka waktu yang pasti …” Somasi atau peringatan juga termasuk salah satu iktikad baik dari perusahaan yang masih memberi kesempatan kepada nasabah dengan tidak serta merta mengeksekusi jaminan.
b. Adanya Surat Kuasa Khusus dari Perusahaan. Dalam hal terjadinya penyimpangan pelaksanaan dari yang diamanatkan dalam Surat Kuasa, itu adalah menjadi tanggung jawab Debt Collector sendiri selaku Penerima Kuasa, dan tidak bisa serta merta ditimpakan kepada Penerima Kuasa begitu saja, semata-mata karena asumsi bahwa kejadian pelanggaran tindak pidana tersebut tidak akan terjadi jika Surat Kuasa itu tidak diberikan.41
c. Pengikatan Jaminan Fidusia telah Sempurna Selain dibuatnya akta Fidusia, jaminan tersebut haruslah didiaftarkan kepada Kementrian Hukum dan HAM agar memperoleh sertifikat. Detil tata cara pendaftaran tersebut diatur dalam PP No. 21 Tahun 2005 Hal ini tegas diatur dalam UU JF, tanpa adanya sertifikat jaminan Fidusia, debt collector tidak dapat melakukan penarikan kendaraan.
d. Meminta bantuan alat-alat kekuasaan negara Dalam HIR/Rbg ditegaskan bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, putusan bersifat condemtoir, dan ecexutable dapat dipaksakan dengan alat kekuasaan negara. Begitu juga dengan eksekusi jaminan fidusia di lapangan, apabila debt collector kesulitan menarik kendaraan tersebut dan dikhawatirkan timbul kekerasan, dapat meminta pihak kepolisian untuk melakukan pengamanan. Secara proaktif kepolisian telah mengeluarkan regulasi berupa Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia.

C.Penutup
Perkembangan bisnis syariah di Indonesia telah mengalami peningkatan cukup signifikan. Perusahaan Pembiayaan Syariah dalam melaksanakan bisnisnya tetap mengacu pada hukum positif baik dalam proses pembuatan akadnya maupun proses pengikatan jaminannya. DSN merespon hal ini dengan mengeluarkan Fatwa nomor Nomor 68/DSN-MUI/III/2008 yang sejalan dengan bentuk jaminan fidusia yaitu disebut dengan Rahn Tasjily sebagai landasan hukum Islam dan dapat dipakai oleh perusahaan pembiayaan syariah. Lembaga Jaminan Fidusia memberikan kemudahan bagi perusahaan pembiayaan syariah diantaranya: memberikan hak privelege, bersifat parate executie yang bisa tanpa melalui pelelaangan umum, dan dapat dipaksakan dengan alat kekuasaan negara. Penggunaan debt collector oleh Perusahaan Pembiayan dapat memperoleh legitimasinya apabila dilakukan dengan memenuhi beberapa ketentuan diantaranya: utang telah jatuh tempo / wanprestasi, debt collector memiliki surat kuasa khusus serta tidak melakukan tindakan di luar kuasa yang diberikan, pengikatan jaminan fidusia telah dilakukan sempurna, dan penarikan jaminan tidak dengan jalan kekerasan kalaupun perlu harus melalui pihak kepolisian. Sehingga apabila semua aturan-aturan tersebut di atas telah dilaksanakn, maka debtcollector dapat bertindak secara sah menarik serta mengeksekusi jaminan fidusia secara legal.

Kutipan :

  1. Agus Waluyo Nur, “Sistem Pembiayaan Leasing di Perbankan Syariah”, La Riba 1, 2 (2007), P. 169-170.
  2. Rahayu Hartini, Hukum Komersial, (Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2005), P. 56.
  3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31 /POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah.
  4. Otoritas Jasa Keuangan, “Statistik IKNB Syariah Januari 2018”, dikutip dari http://ojk.go.id 14 Maret 2019.
  5. Muhammad Sholahuddin, Lembaga Keuangan dan Ekonomi Islam,(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), P. 308.
  6. Wazin Baihaqi, “Ekonomi Islam dalam Kajian Fiqh Kontemporer; Studi Awal tentang Jaminan Fidusia”, Islamiconomic 7, 2 (2016), P. 246.
  7. Ahmad Muliadi, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta: Akademia Permata, 2013), P. 5.
  8. Surat Edaran OJK Nomor 19/SEOJK.05/2015 tentang Besaran Uang Muka (Down Payment) Pembiayaan Kendaraan Bermotor Bagi Perusahaan Pembiayaan dan Surat Edaran OJK Nomor 20/SEOJK.05/2015 tentang Besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor Untuk Pembiayaan Syariah.
  9. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata Comparative Civil Law, (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2014), P. 247.
  10. Ibid, P. 255.
  11. Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi. Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: UIN Maliki Press, 2013), P. 192-193.
  12. Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab tentang Credietverband, Gadai, & Fiducia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), P. 89-90.
  13. Iffaty Nasyiah dan Asna Jazillatul Chusna, “Implementasi Prinsip Syariah Terhadap Penyitaan Jaminan Fidusia”, de Jure 4, 2 (2012), P. 149.
  14. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia di dalam Praktek dan Perkembangannya di Indonesia, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1977), P. 31.
  15. M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), P. 213.
  16. Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung: Penerbit Alumni, 1997), P. 85.
  17. Marta Eri Safira, “Analisis Perjanjian Fidusia Terhadap Parate Eksekusi dan Perlindungan Hukumnya Bagi Kreditur (Studi Kasus BMT dan BPR Syariah Ponorogo)”, Justitia Islamica 11, 1 (2014), P. 139.
  18. Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2006), P. 291.
  19. Ma’aruf Abdullah, Manajemen Bisnis Syariah, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014), P. 44.
  20. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008), P. 46.
  21. ibid.
  22. Pasal 3 POJK No. 31/POJK.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah. Pembiayan Syariah.
  23. Nashihul Ibad Elhas, Produk Standar Ekonomi Syariah dalam Kilas Sejarah, (Yogyakarta: CV Pustaka Ilmu Group, 2015), P. 86-87.
  24. Yadi Janwari, Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), P. 58.
  25. Muhammad dan Alimin, Etika & Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004), P. 153-154.
  26. Frank E. Vogel dan Samuel L Hayes, Hukum Keuangan Islam: Konsep, Teori, dan Praktek tej M. Sobirin Asnawi dkk, (Bandung: Nusamedia,2007), P. 124.
  27. Abdul Sami’ Al Mishri, Pilar-Pilar Ekonomi Islam tej Dimyauddin Djuwaini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), P. 96-97.
  28. Veithzal dkk, Islamic Business and Economic Ethics, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), P 425.
  29. Muhammad Sholahuddin, Lembaga Keuangan dan Ekonomi Islam,(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), P. 308.
  30. Ifa Latifa Fitriani, “Jaminan dan Agunan dalam Pembiayaan Bank Syariah dan Kredit Bank Konvensional”, Jurnal Hukum dan Pembangunan 47, 1 (2017), P. 137.
  31. Nova Faisal, “Tinjauan Yuridis atas Jaminan Fidusia Berkaitan Dengan Ketentuan Angka 2 Surat Edaran Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor: C.HT.01.L0-22 anggal 15 Maret 2005 Tentang Standarisasi Prosedur Pendaftaran Fidusia”, Jurnal Hukum dan Pembangunan 36, 4 (2006), P. 240.
  32. Freddy Haris, “Pembebasan Jaminan Kebendaan dalam Jaminan Fiducia”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus, (2001), P. 48.
  33. vide Pasal 15 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
  34. Arie Hutagalung, “Praktek Pembebanan dan Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Pembangunan 38, 2 (2008), P. 162.
  35. Nahrowi, “Permasalahan Hukum Pembiayaan Leasing di Indonesia”, Jurnal Cita Hukum 1, 1 (2013), P. 36.
  36. vide pasal 6 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
  37. Wazin Baihaqi, “Ekonomi Islam Dalam Kajian Fiqh Kontemporer; Studi Awal Tentang Jaminan Fidusia”, Islamiconomic 7, 2 (2016), P. 257.
  38. Iffaty Nasyi’ah dan Asna Jazillatul Chusna, “Implementasi Prinsip Syariah Terhadap Penyitaan Jaminan Fidusia”, de Jure 4, 2 (2012), P. 154.
  39. Daniel Richardo Sitinjak, “Tanggung Jawab Perdata Debt Collector dalam Wanprestasi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pada PT. Sinarmas Multifinance di Kota Balikpapan”, Beraja Niti 3, 2 (2014), P. 9-10.
  40. Teddy Anggoro, “Parate Eksekusi: Hak Kreditur, yang Menderogasi Hukum Formil (Suatu Pemahaman Dasar dan mendalam)”, Jurnal Hukum dan Pembangunan 4, 4 (2007), P. 538.
  41. Daniel Richardo Sitinjak, “Tanggung Jawab Perdata Debt Collector dalam Wanprestasi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pada PT. Sinarmas Multifinance di Kota Balikpapan”, Beraja Niti 3, 2 (2014), P. 7.

Daftar Pustaka :

Buku-Buku
1. Abdullah, Ma’aruf, Manajemen Bisnis Syariah, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014.
2. Al Mishri, Abdul Sami’, Pilar-Pilar Ekonomi Islam tej Dimyauddin Djuwaini, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
3. Badrulzaman, Mariam Darus, Bab-bab tentang Credietverband, Gadai, & Fiducia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991.
4. Badrulzaman, Mariam Daru, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung: Penerbit Alumni, 1997.
5. Djakfar, Muhammad, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, Malang: UIN Maliki Press, 2013.
6. Elhas, Nashihul Ibad, Produk Standar Ekonomi Syariah dalam Kilas Sejarah, Yogyakarta: CV Pustaka Ilmu Group, 2015 Harahap, M. Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
7. Hartini, Rahayu, Hukum Komersial, Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2005.

8. HS, Salim, dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata Comparative Civil Law, Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2014.
9. Janwari, Yadi, Lembaga Keuangan Syariah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015.
10. Muhammad dan Alimin, Etika & Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004.
11. Muliadi, Ahmad, Hukum Lembaga Pembiayaan, Jakarta: Akademia Permata, 2013.
12. Nasution, Mustafa Edwin, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2006.
13. Sholahuddin, Muhammad, Lembaga Keuangan dan Ekonomi Islam, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014.
14. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia di dalam Praktek dan Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1977.
15. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008.
16. Vogel, Frank E., dan Samuel L Hayes, Hukum Keuangan Islam: Konsep, Teori, dan Praktek tej M. Sobirin Asnawi dkk, Bandung: Nusamedia, 2007.
17. Veithzal dkk, Islamic Business and Economic Ethics, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012.

Jurnal – Jurnal
1. Anggoro, Teddy, Parate Eksekusi: Hak Kreditur, yang Menderogasi Hukum Formil (Suatu Pemahaman Dasar dan mendalam), dalam “Jurnal Hukum dan Pembangunan” Volume 4 No 4 Tahun 2007.
2. Baihaqi, Wazin, Ekonomi Islam dalam Kajian Fiqh Kontemporer; Studi Awal tentang Jaminan Fidusia, dalam Islamiconomic Volume 7 No 2 Tahun 2016 Faisal, Nova, Tinjauan Yuridis atas Jaminan Fidusia Berkaitan Dengan Ketentuan Angka 2 Surat Edaran Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor: C.HT.01.L0-22 tanggal 15 Maret 2005 Tentang Standarisasi Prosedur Pendaftaran Fidusia, dalam “Jurnal Hukum dan Pembangunan” Volume 36 No 4 Tahun 2006 Fitriani, Ifa Latifa, Jaminan dan Agunan dalam Pembiayaan Bank Syariah dan Kredit Bank Konvensional, dalam “Jurnal Hukum dan Pembangunan” Volumen 47, No 1 tahun 2017.
3. Haris, Freddy, Pembebasan Jaminan Kebendaan dalam Jaminan Fiducia, dalam “Jurnal Hukum dan Pembangunan” Edisi Khusus Tahun 2001.
4. Hutagalung, Arie, Praktek Pembebanan dan Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan di Indonesia, dalam “Jurnal Hukum dan Pembangunan” Volume 38 No 2 Tahun 2008.
5. Nahrowi, Permasalahan Hukum Pembiayaan Leasing di Indonesia, dalam “Jurnal Cita Hukum” Volume 1 No 1 Tahun 2013.
6. Nasyi’ah, Iffaty dan Asna Jazillatul Chusna, Implementasi Prinsip Syariah Terhadap Penyitaan Jaminan Fidusia, dalam “de Jure” Volumen 4 No 2 tahun 2012.
7. Nur, Agus Waluyo, Sistem Pembiayaan Leasing di Perbankan Syariah, dalam “La Riba” Volume 1 No 2 Tahun 2007.
8. Safira, Marta Eri, Analisis Perjanjian Fidusia Terhadap Parate Eksekusi dan Perlindungan Hukumnya Bagi Kreditur (Studi Kasus BMT dan BPR Syariah Ponorogo), dalam “Justitia Islamica” Volume 11 No 1 Tahun 2014. 9. Sitinjak, Daniel Richardo, Tanggung Jawab Perdata Debt Collector dalam Wanprestasi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pada PT. Sinarmas Multifinance di Kota Balikpapan, dalam “Beraja Niti” Volume 3 No 2 Tahun 2014.


Kantor Hukum Jogjalawkarta adalah kantor pengacara yang telah menangani berbagai perkara hukum baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata sejak tahun 2018 seperti pendampingan perkara perdata, cerai talak, gugat cerai, permohonan dispensasi kawin, gugatan hak asuh anak, permohonan penetapan ahli waris, sengketa wanprestasi/perbuatan melawan hukum, pendampingan perkara pidana, mediasi, negosiasi, dan masih banyak lagi. Selain itu Kantor Hukum Jogjalawkarta telah membantu berbagai industri dan bisnis dalam memberikan solusi hukum terbaik yang berkaitan dengan peraturan-peraturan di Indonesia.

Untuk informasi lebih lengkapnya anda dapat menghubungi kami via :
WhatsApp : (0812-1080-4902)
Instagram : @jogjalawkarta
Facebook : Jogjalawkarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *