Zakat dan Penanganan Pembiayaan Bermasalah Pada Pelaku Usaha UMKM

,

Oleh: Perdana Nur Ambar Setyawan

perdananur@gmail.com/081578042402

ABSTRAK

Industri keuagan syariah yang kian marak adalah sektor perbankan. Perbankan syariah sampai saat ini, sektor bisnis terbesarnya masih disokong dari sektor penyaluran pembiayaan. Pembiayaan pada segemen UMKM menjadi salah satu komponen laba bagi bank syariah yang patut diperhitungkan. Namun, resiko pembiayaan macet (Non Performing Financing/NPF) masih menjadi momok dan hal itu menjadi perhatian khusus bagi regulator. Semakin besar rasio NPF pada suatu bank, semakin tidak sehat juga bank tersebut. Dintara penyebab resiko pembiayaan macet adalah  hal-hal di luar kemampuan manusia seperti bencana alam, huru hara, dan kebakaran atau disebut juga Force Majeure. Zakat bisa menjadi solusi alternatif penyelesaian pembiayaan macet yang disebabkan oleh faktor forced majeure. Tidak hanya dalam mengurangi NPF bagi bank, namun juga penanganan pemulihan kondisi ekonomi pada debitur pasca terjadinya force majeure.

Kata Kunci: Zakat, Gharimin, Penyelamatan Pembiayaan dan Pembiayaan Macet

Pendahuluan

Salah satu indikator sebuah kesehatan ekonomi pada suatu negara adalah kesehatan industri keuangan, salah satunya perbankan. Dalam perkembangannya, bank syariah bermunculan di Indonesia dewasa ini. Sektor bisnis pada Perbankan Syariah saat ini, presentasi terbesarnya masih disokong dari sektor penyaluran pembiayaan. Bisnis pembiayaan dapat diklasifikasikan menurut penggunaannya dalam beberapa sektor, yaitu: pembiayaan konsumsi, pembiayaan investasi, dan pembiayaan modal kerja. Pengklasifikasian pembiayaan menurut kategori usaha terbagi dua, yaitu: penyaluran pembiayaan UMKM dan penyaluran pembiayaan bukan UMKM. Pembiayaan dengan tujuan modal kerja menempati urutan pertama berdasarkan jumlah yang disalurkan. Tahun 2016, posisi outstanding untuk pembiayaan modal kerja sebesar Rp 87,363 Milyar dan penyaluran pada usaha UMKM menembus angka Rp 35,827 Milyar. Penyaluran pembiayaan pada UMKM tersebut didominasi oleh pelaku usaha perdagangan, baik perdagangan besar maupun eceran.1 Tingkat Margin pembiayaan yang disalurkan pada sekotor modal kerja pada UMKM mencapai 19,65% di tahun 2016 dan menjadi yang tertinggi daripada penyaluran pembiayaan pada sektor lain. Perlu diketahui bahwa bisnis pembiayaan pada sektor UMKM, memiliki potensi resiko besar juga. Resiko yang mungkin terjadi dalam bisnis pembiayaan mikro adalah resiko gagal bayar debitur atau Non Performing Financing (NPF). Semakin besar rasio NPF pada suatu bank, semakin tidak sehat juga bank tersebut. Banyak faktor yang menyebabkan resiko gagal bayar pada pembiayaan di sektor UMKM bisa tejadi, bisa disebabkan karena debitur kurang memiliki kapasitas bisnis, debitur yang karakternya buruk, atau dikarenakan adanya faktor eksternal di luar kemampuan manusia seperti bencana alam, huru-hara, dan kebakaran. Faktor eksternal tersebut disebut juga Force Majeure atau Overmacht. Walaupun dalam bisnis pembiayaan biasanya terdapat second wayout penyelesaian pembiayaan macet dengan penjualan jaminan, namun masih menyisakan masalah, yaitu dari sisi debitur yang akan kesulitan untuk memulai kembali bisnis usahanya. Hal ini sangat ironi karena pelaku UMKM yang menjadi penyumbang tingkat margin tertinggi, namun apabila terjadi pembiayaan macet dikarenakan faktor di luar kemampuan manusia, penyelesaiannya justru merugikan pihak nasabah. Para pelaku bisnis UMKM muslim yang menggunakan jasa pembiayaan perbankan, selain dituntut membayar angsuran juga dikenakan kewajiban syariah, yaitu adanya tuntutan pembayaran zakat sebagaimana yang telah diperintahkan Allah melalui firman-Nya dalam Al Quran. Selama ini zakat-zakat tersebut dipungut melalui badan amil resmi yang difasilitasi negara yaitu Baznas yang dipayungi dengan regulasi Undang-Undang. Bahkan negara juga mendorong pertumbuhan kesadaran pembayaran zakat dengan menjadikan zakat sebagai salah satu faktor pengurang penghasilan bruto dalam perhitungan Pajak Penghasilan (PPH). Baznas bertanggungjawab dalam pendistribusian zakat dari para muzaki kepada mustahik yang berhak. Teori ulama fuqoha klasik membagi golongan-golongan mustahik menjadi 8 (delapan), atau dikenal dengan 8 golongan ashnaf. Orang yang terlilit hutang termasuk ke dalam 8 golongan ashnaf tersebut (gharimin). Dunia kontemporer saat ini telah bergeser bahwa lilitan hutang yang dimaksud termasuk juga pembiayaan macet pada perbankan syariah. Korelasi dari kewajiban zakat pada pengusaha UMKM dengan pendistribusian zakat bisa menjadi solusi alternatif penyelesaian pembiayaan macet yang disebabkan oleh faktor force majeure. Penyelesaian pembiayaan UMKM saat ini masih berpihak pada sisi perbankan saja, yaitu penjualan aset nasabah. Penyelesaian itu tidak memikirkan dampak ke depan kelangsungan ekonomi pelaku usaha UMKM tersebut, padahal dari sisi margin yang dikenakan pada sektor pembiayaan modal kerja UMKM adalah yang tertinggi dibandingkan margin yang dipatok pada pembiayaan sektor lainnya. Pendistribusian zakat yang progresif dapat menjadi alternatif solusi, tidak hanya dalam pelunasan pembiayaan macet yang menguntungkan perbankan syariah dalam hal menekan rasio angka NPF, namun juga penanganan pemulihan kondisi ekonomi pada debitur pasca terjadinya force majeure. Penelitian ini bersifat normatif-empiris, penulis melihat dasar hukum tertulis disertai melihat kondisi yang ada dalam masyarakat, serta berusaha memberikan solusi atas masalah yang terjadi. Data-data yang digunakan menggunakan data sekunder yang telah tersaji di situs resmi instansi Baznas, OJK, dan Kementrian Koperasi dan UMKM. Metode yang digunakan adalah library research, yaitu memperkuat argumen-argumen dengan pendekatan pendapat para ahli dan doktrin-doktrin hukum yang sudah tertulis dalam buku-buku.

Fakta Pembiayaan di Perbankan Syariah

Hal mendasar perbedaan antara Bank Konvensional dan Bank Syariah adalah tidak dikenalnya istilah “kredit” dalam perbankan syariah. Bank Syariah menggunakan istilah untuk pengertian kredit dengan istilah “pembiayaan” dikarenakan penentuan keuntungan dari bisnis pembiayaan bukan terletak pada pokok jumlah uang yang dipinjamkan kepada nasabah melainkan dari porsi keuntungan atas jual beli barang atau bagi hasil atas penyertaan modal kerja. Menurut UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan disebutkan bahwa Bank Syariah adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang di dalam kegiatannya memberikan jasa lalu lintas pembayaran.2 Sehingga Bank Syariah mempunyai tugas sama dengan perbankan pada umumnya yaitu sebagai pegumpul dana masyarakat dan menyalurkannya bagi masyarakat yang membutuhkan. Penyaluran Dana mempunyai peranan penting dalam perbankan syariah sebagai penghasil laba utama disamping pendapatan laba lainnya melalui biaya jasa bank atau fee based income. Pembiayaan dalam arti luas yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri, maupun dijalankan oleh orang lain. Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syariah kepada nasabah.3 Berbagai macam produk pembiayaan yang ditawarkan oleh perbankan syariah adalah:4

  1. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
  2. Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
  3. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;
  4. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk Qard; dan
  5. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujroh, tanpa imbalan, dan atau bagi hasil.

Pembiayaan masih menjadi tulang punggung pencetak laba pada perbankan syariah sehingga perlu dikontrol ketat oleh regulator. Tabel di bawah ini menggambarkan porsi laba bank syariah yang didominasi dari pendapatan bisnis pembiayaan:5

Tabel 1- Porsi Laba Perbankan Syariah dan Unit Usaha Syariah 2016 (Dalam Milyar)

Tergambarkan dalam tabel bahwa pada bulan Desember 2016 dari Rp 40.228 Milyar total pendapatan global bank syariah dan unit usaha syariah, sebanyak Rp 26.447 Milyar disumbang dari bisnis pembiayaan atau dengan kata lain lebih dari separohnya. Dari laba pembiayaan di atas, saya mencoba membedahnya sehingga ditemukan data bahwa pembiayaan sektor modal kepada pada sektor UMKM dikenakan margin paling tingga yaitu 19,65%.6 Itu mengapa pembiayaan modal kerja pada sektor UMKM tidak boleh dipandang sebelah mata. Di balik potensi margin yang sangat besar, pembiayaan pada sektor tersebut menyimpan potensi resiko juga yaitu pembiayaan yang disalurkan menjadi macet atau dikenal dengan istilah NPF (Non Performing Financing) atau bad financing.

Tabel 1-a Tingkat Margin Sektor Pembiayaan 20167

Otoritas Jasa Keuangan merilis hasil statistik besaran Non Performing Financing Tahun 2016 sebagai berikut:

Tabel 2 – Besaran NPF Perbankan Syraiah dan Unit Usaha Syariah (Dalam Milyar)8

Dari total pembiayaan yang telah disalurkan di bulan Desember 2016 sebesar Rp248.007 Milyar, terdapat pembiayaan macet sebesar Rp 10.298 Milyar, atau sebesar 4,15%. Sektor pembiayaan modal kerja penyumbang rasio terbesar NPF nya, penyaluran modal kerja kepada pelaku usaha UMKM sebesar Rp 35,827 Milyar dengan pembiayaan macetnya mencapai 5,92%, sedangkan untuk penyaluran kepada pelaku usaha Non-UMKM pembiayaan macetnya mencapai 5,57%. Padahal, Otoritas Jasa Keuangan  mengkategorikan bahwa perbankan dikategorikan membahayakan dan perlu diawasi secara intensif salah satu indikatornya adalah rasio NPF mencapai 5% atau lebih dari total pembiayaan yang disalurkan. Data di atas menunjukan bahwa sektor Pembiayaan Modal Kerja untuk UMKM melebihi ambang batas NPF regulator dan rasio angka macetnya lebih besar dari pada penyaluran pada Non-UMKM9.  

Penyelesaian Pembiayaan Macet di Perbankan Syariah

Pemaparan data di atas dengan dikaitkan dengan penyelematan pembiayaan macet mutlak dilakukan secara komprehensif dan tepat sasaran. Pembiayaan macet bisa disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal debitur. Faktor internal yang paling berbahaya adalah karakter debitur. Debitur berkarakter buruk menambah daftar penyebab pembiayaan bermasalah. Mengenai buruknya karakter debitur dijelaskan dalam Agency Theory. Teori tersebut menyebutkan bahwa debitur pada dasarnya tidak pernah memperduliakn kepentingan kreditur, debitur akan selalu memanfaatkan peluang bagaimana mencari keuntungan sebesar-besarnya, kalau perlu dengan merampas hak (appropriation) kreditur. Dalam praktiknya, debitur tidak segan-segan melanggar seluruh syarat dan ketentuan kredit (loan covenants), bahkan kalau mungkin dengan membujuk dan berkolusi dengan pegawai bank untuk mencapai tujuan yang diharapkan.10 Nasabah berkarakter seperti ini yang perlu dibuang dan tidak perlu dikasihani. Faktor lain adalah

disebabkan oleh ekternal di luar kemampuan debitur, faktor ini terjadi tidak disengaja dan tidak diharapkan oleh debitur seperti: bencana alam, huru-hara, kejahatan, dan kebakaran. Kejadian-kejadian tersebut dikenal dengan istilah Force Majeure. KUHPerdata juga mencantumkan keadadaan-keadaan tersebut dengan istilah overmacht atau keadaan memaksa, seperti pada pasal 1244,1245, dan 1444. Keadaan memaksa dalam teori objektif dikemukakan bahwa debitur baru bisa mengemukakan adanya keadaan memaksa (overmacht), kalau setiap orang dalam kedudukan debitur tidak mungkin berprestasi (sebagaimana mestinya). Di sini ketidakmungkinan bersifat absolut, siapapun tidak bisa.11 Pelunasan atau penyelamatan pembiayaan bisa melalui mekanisme Restrukturisasi dan Penjualan Jaminan. Restrukturisasi adalah upaya pernaikan yang dilakukan oleh bank terhadap debitur yang berpotensi atau mengalami kesulitan memenuhi kewajiban dengan cara perubahan jangka waktu pembiayaan, perubahan syarat-syarat pembiayaan, dan bentuk lainnya.12 Kesemua bentuk upaya penyelamatan pembiayaan tersebut bertumpu pada tujuan menyelamatkan aset perbankan. Lalu bagaimana nasib para pelaku usaha UMKM tersebut di saat usahanya hancur lebur di luar kemampuannya menanggulangi resiko eksternal tersebut. Di pembahasan selanjutnya akan dikupas tuntas.

Kewajiban Zakat Sebagai Seorang Muslim

Selain kewajiban pembayaran angsuran pembiayaan, pelaku usaha UMKM juga masih dibebani kewajiban syara’ yaitu adanya pembayaran zakat atas hasil usahanya. Zakat dalam pandangan Islam memiliki peranan sangat penting dalam sendi-sendi beragama. Sebagai muslim yang taat membayarkan kewajiban zakat berarti ia telah melakukan salah satu Rukun Islam. Konsekuensi dari rukun apabila tidak dilaksanakan maka keabsahan beragamnya dipertanyakan. Secara garis besar zakat dikenakan atas dua hal yaitu jiwa dan harta. Untuk zakat yang didasarkan pada jiwa diwajibkan pembayarannya bagi tiap-tiap manusia yang bernyawa, zakat ini disebut zakat fitrah. Zakat yang kedua didasarkan pada harta kekayaan sebagai objeknya, sehingga tidak semua harta serta merta diwajibkan dibayarkan zakatnya, namun ada aturannya, atau disebut juga dengan Nisab dan Haul. Khusus Zakat mal yang akan saya bahas lebih lanjut karena berkorelasi kuat dengan judul tulisan ini. Pengertian kebahasaan, zakat berarti tumbuh (numuww) dan bertambah (ziyadah). Zakat menurut syara’ berarti hak yang wajib (dikeluarkan dari) harta Mahzab Maliki mendefinisikan dengan:13

 “Mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang menyebabkan zakat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq). Dengan catatan, kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl (setahun), bukan barang tambang dan bukan pertanian.” Mahzab Hanafi mendefinisikan zakat dengan:14

“Menjadikan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus dengan milik orang yang khusus, yang ditentukan okeh syari’at karena Allah SWT. Kata khusus menjadikan sebagian harta sebagai milik (tamlik) dalam definisi di atas dimaksud sebagai penghindar dari kata ibahah (pembolehan).” Menurut Mahzab Syafi’i, zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus. Sedangkan menurut Mahzab Hambali, zakat adalah hak yang wajib (dikeluarkan) dari harta yang khusus untuk kelompok yang khsusus pula.15 Allah mewajibkan pembayaran zakat melalui firmannya yang tertulis dalam Al Qur’an, sehingga kedudukan zakat sangat vital mengingat diperintahkan secara langsung oleh Allah, yang pemwahyuannya melalui malaikat jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Berikut dasar nash Al Quran yang memerintahan umat muslim atas kewajiban pembayaran zakat:

1. Surah At Taubah (9) ayat (103):16

خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٞ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ١٠٣ 

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

2. Surat Al Baqarah (2) ayat (43):17

وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ ٤٣ 

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku´lah beserta orang-orang yang ruku´.

3. Surat Al Muzammil (73) ayat (20):18

۞إِنَّ رَبَّكَ يَعۡلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدۡنَىٰ مِن ثُلُثَيِ ٱلَّيۡلِ وَنِصۡفَهُۥ وَثُلُثَهُۥ وَطَآئِفَةٞ مِّنَ ٱلَّذِينَ مَعَكَۚ وَٱللَّهُ يُقَدِّرُ ٱلَّيۡلَ وَٱلنَّهَارَۚ عَلِمَ أَن لَّن تُحۡصُوهُ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡۖ فَٱقۡرَءُواْ مَا تَيَسَّرَ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِۚ عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرۡضَىٰ وَءَاخَرُونَ يَضۡرِبُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِ يَبۡتَغُونَ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَءَاخَرُونَ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۖ فَٱقۡرَءُواْ مَا تَيَسَّرَ مِنۡهُۚ وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَقۡرِضُواْ ٱللَّهَ قَرۡضًا حَسَنٗاۚ وَمَا تُقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُم مِّنۡ خَيۡرٖ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ هُوَ خَيۡرٗا وَأَعۡظَمَ أَجۡرٗاۚ وَٱسۡتَغۡفِرُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمُۢ ٢٠  Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

4. Surat Al Bayinah (98) ayat (5):19

وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥ 

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus

Ayat – ayat di atas adalah sebagian ayat yang menjadi dasar hukum dalam mewajibkan setiap muslim untuk membayarkan zakat. Para ulama mengkaji bahwa ada 32 buah kata “zakat”, bahkan diulang sebutannya dengan memakai kata-kata yang sinonim dengannya, yaitu sadakah dan infak. Pengulangan tersebut mengandung maksud bahwa zakat mempunyai kedudukan, fungsi, dan peranan yang sangat penting.20

Pelaku UMKM dan Kewajiban Membayar Zakat Mal

Kaitannya dengan kegiatan usaha khususnya dalam sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) setiap pelaku usaha orientasi utamanya adalah mendapatkan laba keuntungan, apabila ada kelebihan dari laba tersebut nantinya laba tersebut menjadi harta simpanan. Harta simpanan inilah yang akan dikenakan kewajiban zakat. Pendapat ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan lainnya dari Ibn Umar,21 bahwa A’raby bertanya kepadanya, “Jelaskan kepadaku tentang firman Allah SWT. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak….” 22. Ibn Umar menjawab, “Barang siapa yang menyimpan harta dan belum mengeluarkan zakat dari harta tersebut, maka kerugianlah yang akan dia dapat”. Menurut al-Jaziri, para ulama klasik empat mahzab secara ittifaq mengatakan bahwa jenis harta yang wajib dizakatkan ada lima macam, yaitu:23

1. Binatang Ternak (Unta, sapi, kerbau, kambing, domba).

2. Emas dan perak.

3. Hasil Perdagangan.

4. Pertambangan dan harta temuan.

5. Pertanian (gandum, korma, anggur).

Pandangan kontemporer dengan melakukan pengkajian Hukum Islam yang lebih komprehensif menggunakan metode Ushul Fikih menambahkan kategori harta yang wajib dibayarkan zakat Malnya. Mengambil pendapat ulama kontemporer, Yusuf Al-Qardawi, jenis-jenis harta yang wajib dibayarkan zakatnya adalah:24

1. Binatang ternak.

2. Emas dan Perdagangan.

3. Hasil Perdagangan.

4. Hasil Pertanian.

5. Hasil Sewa Tanah.

6. Madu dan Produk Hewan Lain.

7. Barang Tambang dan hasil laut.

8. Hasil investasi, pabrik, dan gudang.

9. Hasil pencaharian dan profesi.

10. Hasil Saham dan Obligasi.

Dari kedua pendapat baik al-Jaziri dan Yusul al-Qardhawi, hasil perdagangan memang menjadi objek yang dikenakan zakat. Itu berarti sejak jaman klasik hingga kontemporer perdagangan menjadi salah satu tonggak kekuatan ekonomi umat muslim. Definisi Usaha Mikro, Kecil, dan Menegah adalah pelaku usaha yang memiliki rentang kekayaan bersih di bawah sepuluh milyar dan penjualan tahunan di bawah lima puluh milyar.25 Sehingga sejatinya para pelaku usaha UMKM yang sudah memenuhi kriteria wajib zakat harus mau untuk membayarkannya. Perintah Syariah itu dipositifkan ke dalam sistem hukum nasional Indonesia melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Fokus pada zakat perdagangan yang saya lekatkan pada pendefisnisian zakat bagi pelaku UMKM, aturan mengenai kriteria subjek zakat dan objek zakatnya perlu diperjelas. Namun sebelumnya, saya mencoba mendefinisikan batasan makna zakat perdagangan beserta dasar hukum yang mendukungnya. Perdagangan pada intinya terdapat interaksi jual beli, baik itu secara langsung atau melalui dunia maya. Dasar hukum nash yang dijadikan tumpuan kewajiban zakat perdagangan adalah surat Al Baqarah ayat (267):

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِۖ وَلَا تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بِ‍َٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغۡمِضُواْ فِيهِۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ ٢٦٧ 

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Imam Abu Bakar ‘Arabi mendefinisikan arti kata “…sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…”adalah hasil perdagangan. Selain ayat Al Qur’an, sabda Rasullulah yang diriwayatkan oleh HR. Abu Daud mengatakan: “Rasullulah memerintahkan kepada kami supaya mengeluarkan sedekah dari segala yang kami jual”.26 Mengenai kriteria umum yang dikenakan zakat (pembayar zakat mal) mengacu pada ketentuan umum yaitu: beragama Islam, merdeka, mempunyai nishab (hak kewajiban zakat), nishab telah berlaku, dan berlalu setahun kecuali pada zakat pertanian.27 Islam dan Merdeka merupakan syarat subjektif, orang yang terkena hukum. Sedangkan nishab dan haul adalah syarat objektif, fokus pada benda/hartanya. Itu berarti Objek zakat perdagangan/perniagaan adalah barang yang diperjualbelikan. Dalam ilmu ekonomi, ini berarti yang menjadi objek zakat perniagaan adalah revenue minus cost.28 Lalu untuk kadar zakat perdagangan sendiri menurut Kitab Fath Dzi Al-Jalal wa Ikram (Syarah Bulughul Mahram) mengatakan bahwa kadar zakat komoditas perdagangan adalah 2,5% dipersamakan dengan emas dan perak yang kadarnya juga 2,5%. Mengenai nishab batas minimalnya, ulama fikih klasik mengatakan bahwa patokannya adalah harga emas dan perak yang lebih menguntungkan bagi kalangan fakir miskin.29 Mengutip pendapat dari Yusuf Al Qardhawi dan Wahbah Al Zuhaili yang mengatakan bahwa nishab emas adalah seberat 85 gram30, pendapat Fuqoha klasik dan Modern tersebutlah yang diapdopsi oleh Pemerintah Indonesia dalam menentukan kadar nishab zakat perdagangan. Secara jelas nishab tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Agama No. 52 Tahun 2014 Tentang Syarat dan Tata Cara Perhitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif yaitu: Pasal 11 ayat (1): Nisab Zakat Perniagaan senilai 85gram emas. Ayat (2): Kadar Zakat Perniagaan sebesar 2,5%.

Pelaku UMKM nasabah Pembiayaan yang Gharim adalah Mustahik Setelah mengetahui dasar hukum yang mengatur tentang siapa dan apa yang dibebani kewajiban zakat, pada paragraf ini akan dibahas mengenai kriteria manusia yang diperbolehkan menerima zakat. Seseorang tidak berhak menerima zakat (tidak dianggap sebagai mustahik) kecuali seorang muslim yang merdeka (bukan budak), bukan seorang anggota suku Bani Hasyim atau Bani Muthalib, dan harus memiliki salah satu sifat diantara sifat-sifat ke delapan Ashnaf (kelompok) tersebut dalam Al Qur’an.31 Bani Hasyim dan Bani Muthalib adalah keluarga Muhammad. Zakat tidak boleh diberikan kepada keluarga Muhammad berdasarkan hadis Rasullulah: “Harta yang berasal dari sedekah (zakat) tidak dibenarkan bagi keluarga Muhammad. Itu adalah kotoran-kotoran harta manusia.” (H.R. Muslim). Kedelapan (8) golongan ashnaf yang dimaksud adalah:32 Fakir, Miskin, Amil, Muallaf, Budak yang dijanjikan kebebasannya, Orang yang Berutang, Pejuang Fi sabilillah (perang), Ibnu Sabil (Musafir yang kehabisan ongkos). Kedelapan golongan tersebut disebut dalam Surat At Taubah ayat (60):33

۞إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٦٠ 

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.         

Orang yang berutang atau dalam istilah fikih dikenal dengan Gharimin. Gharimin adalah salah satu golongan yang mendapat kewajiban mendapatkan penyaluran zakat. Kitab-kitab fikih klasik mendefinisikan selama ini terbatas pada pengertian hutang piutang perseorangan. Hal itu wajar karena di jaman para penulis kitab tersebut belum ada lembaga keuangan seperti perbankan dewasa ini. Menurut mahzab Abu Hanifah, gharim adalah orang yang mempunyai utang dan aset yang dimilikinya tidak mencukupi untuk memenuhi utangnya tersebut. Sedangkan Imam Maliki, Syafi’i, dan Ahmad menyatakan bahwa orang yang mempunyai utang karena melayani kepentingan masyarakat, berhak untuk menerima zakat walaupun orang tersebut sudah berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.34

Yusuf Al Qardawi dalam kitabnya Fiqhuz Zakah sepakat dengan Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad yang membagi gharimin dalam dua golongan yaitu: orang yang berutang untuk kemaslahatan diri sendiri dan orang yang berutang untuk kemaslahatan orang lain. Pemberian zakat untuk pelunasan utang harus memenuhi kriteria diantaranya: mempunyai kebutuhan untuk memiliki harta yang dapat membayar utangnya, utang untuk melaksanakan ketaatan / mengerjakan sesuatu urusan yang di perbolehkan, utang telah jatuh tempo, dan bukan utang kifarat/zakat.35

Dalam memaknai istilah gharimin haruslah melihat kontekstual yang ada saat ini. Masyarakat mulai melakukan hubungan hutang piutang dengan lembaga perbankan, tidak terkecuali dengan bank syariah, hal ini pun diakomodir dalam sistem hukum nasional Indonesia. Lalu bagaimana statusnya apabila Gharimin tercipta akibat sesorang tidak mampu membayar utangnya di bank. Konsep pentasharufan dana zakat untuk membayarkan utang-utang orang yang jatuh pailit ada alasan juga untuk mengeluarkan, misalnya bagi usaha peningkatan kemampuan manajemen orang-orang yang melakukan usaha dengan modal pinjaman. Jadi selain untuk keperluan kuratif membayarkan utang seseorang, zakat juga bisa digunakan untuk keperluan preventif yakni melatih pengusaha kecil agar memiliki ketahanan dan tidak mudah jatuh pailit.36 Namun perlu distandarisasi tipe mustahik gharim yang akan menjadi sasaran distribusi zakat. Pada awal paragraf dibahas bahwa tipe gharimin yang boleh dikategorikan sebagai penerima zakat untuk melunasi pembiayaannya di bank adalah pelaku usaha UMKM yang benar-benar kehancuran usahanya disebabkan oleh faktor eksternal di luar kehendak manusia (force majeur). Hanya mereka yang berhutang untuk kemashlahatan diri, baru boleh meminta hak menerima zakat, bila mereka sendiri telah fakir, telah jatuh miskin dan tidak sanggup membayarnya.37 Yusuf Al Qardhawi berpendapat bahwa orang yang mengalami bencana termasuk dalah kategori gharim. Dalam hadis Qabish bin Al-Mukharik, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim, bahwa nabi SAW membolehkan orang yang mengalami bencana di dalam hartanya, meminta kepada penguasa bagian dari zakat, sehingga ia mempunyai kekuatan untuk menutupi kebutuhan hidupnya. 38Penulis sependapat dengan itu, sehingga debitu pelaku usaha yang mengalami bencana dalam kehidupan usahanya termasuk gharim yang diperbolehkan menerima zakat sebagai pelunasan utangnya. Robert Chambers seorang ahli pembangunan pedesaan Inggris menyimpulkan bahwa inti dari masalah kemiskinan adalah adanya deprivation trap atau jebakan kemiskinan, yaitu: kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Dua hal yang yang harus diperhatikan yaitu kerentanan dan ketidakberdayaan. Kerentanan adalah ketidakmampuan dari keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu untuk menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana alam dan penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga tersebut. Kerentanan ini sering menjadi roda penggerak kemiskinan karena menyebabkan keluarga miskin harus menjual hartanya yang tersisa sehingga keluarga itu menjadi sangat miskin.39 Jadi yang terjadi pada pelaku usaha yang pembiayaannya macet walaupun bukan karena kehendaknya, pastilah penjualan aset jaminan akan dilakukan oleh pihak bank, yang terkadang aset yang dijaminkan adalah aset satu-satunya milik pelaku UMKM tersebut. Negara dituntut berperan aktif melalui Baznas untuk medata dan memilah Gharimin dari pelaku usaha UMKM yang terlilit pembiayaan di Bank Syariah. Posisi UMKM pada perekonomian negeri ini sangatlah penting.  Seperti yang tergambar dalam tabel di bawah ini:

Tabel 3 – Jumlah Pelaku Usaha dan Pangsa Pasar 201240

Sebesar 99,9% sektor usaha di Indonesia diduduki oleh UMKM atau sebesar 56.534.592 pelaku usaha. Sebuah angka yang sangat fantastis. Itu mengapa kebijakan ekonomi tidak boleh berpaling pada sektor usaha UMKM. Sebagian dari mereka juga termasuk nasabah pembiayaan perbankan dalam memenuhi kebutuhan modal kerjanya yang mungkin bisa secara tiba-tiba menjadi gharimin apabila suatu keadaan memaksa (overmacht) terjadi pada usahanya. Bukankah itu bisa menambah daftar deret penduduk miskin di Indonesia. Perlu diketahui bahwa jumlah penduduk miskin per-September 2016 mencapai 27,76 juta jiwa. 41Hal tersebut tidaklah boleh terjadi penambahan dari kalangan pelaku UMKM, karena jumlah penduduk miskin negeri ini sudah sangat memprihatinkan. Oleh karena itu pendistribusian zakat pada golongan pelaku UMKM yang Gharimin menjadi sangatlah penting, setidak-tidaknya dapat menahan penambahan jumlah penduduk miskin negeri ini. Namun melihat pola distribusi zakat di Baznas sampai saat ini kuranglah tepat karena memposisikan golongan Gharimin bukan sebagai prioritas. Prioritas saat ini adalah golongan Fakir Miskin yang notabene penanganannya sudah ada dalam Kementrian Sosial. Bahkan Kementrian Sosial membuka direktorat khusus untuk penanganan fakir miskin di tahun 2016.42 Belum lagi dengan adanya program unggulan dari Kemensos yaitu PKH (Program Keluarga Harapan), Bantuan Pangan Non Tunai, dan subsidi LPG 3kg. Bukankah terjadi dualisme peran, mengapa Baznas tidak mengambil peran lain. Berikut tabel yang menggambar kan pola distribusi pada Baznas untuk tahun 2016.

Tabel 4 – Pengumpulan Zakat di Baznas Tahun 201643

Tabel 5 – Pendistribusian Zakat di Baznas Tahun 201644

Terlihat dari data yang disajikan pada tabel 4 pengumpulan zakat mal individu pada tahun 2016 di Baznas mencapai angka Rp2.843.695.144.686,- atau sebesar 56,68% dari total zakat yang terkumpul. Namun dari sisi penyaluran zakat, pendistribusian kepada golongan gharimin hanya sebesar Rp 16.435.575.105,- atau hanya sebesar 0,56% dari total pendistribusian. Lebih besar pendistribusian kepada golongan Muallaf . Baznas harus mulai menggeser pola pendistribusian zakat mal kepada hal-hal produktif salah satunya kepada pelaku usaha UMKM termasuk salah satunya memberikan bantuan modal usaha pasca terjadinya kehancuran ekonomi pelaku usaha UMKM.45 Dengan demikian penyaluran zakat kepada Gharimin UMKM harus merupakan kesatuan komprehensif, tidak hanya berkutat pelunasan hutangnya, namun pemulihan kondisi ekonominya.

Distribusi Zakat dan Rasio NPF pada Perbankan Syariah           

Pada pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa NPF total perbankan syariah dan unit usaha syariah tahun 2016 untuk sektor Modal Kerja yang disalurkan pada pelaku UMKM sebesar Rp 2,123 Milyar dari total pembiayaan yang disalurkan Rp 35,827 Milyar, atau sebesar 5,92%.46 Penyaluran zakat untuk gharimin pada tahun 2016 di Baznas adalah sebesar Rp 16.435.575,105,- atau sebesar 0,56% dari total penyaluran zakat Rp 2.931.210.110.610,-.47 Saya ilustrasikan bahwa porsi penyaluran zakat untuk Gharimin dinaikan 10%, dan Pembiayaan NPF sektor moda kerja UMKM juga diambil 10% karena diasumsikan bahwa 10% dari pelaku usaha UMKM mengalami kemacetan pembiayaan dikarenakan force majeure.

Dari Simulasi di atas masih ada sisa dana zakat sebesar Rp 808.210.106,-, yang apabila kita bagikan masing-masing Rp 50.000.000,- (mengacu UU Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menegah bahwa klasifikasi usaha mikro adalah usaha yang maksimal kekayaan bersihnya Rp 50.000.000,- tidak termasuk tempat dan bangunan usaha), maka akan dapat disalurkan kepada +/- 1.616 pelaku usaha UMKM yang akan bisa memulai usahanya kembali pasca terjadinya force majeure. Lalu NPF pada sektor modal kerja UMKM menjadi Rp 1.910.700.000.000,- atau sebesar 5,33% dari total yang disalurkan pada sektor tersebut. Sehingga dampak positifnya, bukan hanya sektor perbankan syariah terbantu dalam upaya penurunan rasio NPF, namun nasabah pembiayaan yang juga pelaku UMKM dapat memulai kembali usahanya tanpa penjualan aset jaminan untuk melunasi pembiayaan macet miliknya. Penyaluran zakat untuk hal produktif ini pernah dilakukan pada jaman Rasullulah seperti tercantum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Salim bin Abdillah bin Umar dari ayahnya bahwa “Rasulullah saw telah memberikan kepadanya zakat lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi”. Kaitan dengan pemberian zakat yang bersifat produktif, Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa pemerintah Islam diperbolehkan membangun pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan dari uang zakat untuk kemudian kepemilikan dan keuntungannya bagi kepentingan fakir miskin, sehingga akan terpenuhi kebutuhan hidup mereka sepanjang masa. Pengganti pemerintah, untuk saat ini dapat diperankan oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat yang kuat, amanah dan profesional.48 Paparan di atas baru sekedar asumsi, karena belum ditemukannya data nasabah UMKM yang terkena dampat pembiayaan macet karena force majeure. Ini juga tugas besar regulator untuk mensinergikan data antara perbankan syariah, yang bisa diwakilkan kepada Bank Indonesia dan Baznas yang bisa mengkordinasikan institusi-instusi pengumpul zakat untuk bersama-sama menrevitalisasi pola pendistribusian zakat.

Penutup

            Setelah memaparkan dan menguraikan bahasan tentang “Zakat dan Penanganan Pembiayaan Bermasalah Pada Pelaku Usaha UMKM” tibalah di bagian akhir yaitu kesimpulan.  Sektor industri keuangan syariah berkembang pesat diantaranya bank syariah dan unit layanan syariah pada bank konvensional. Sektor perbankan syariah umumnya masih mengandalkan bisnis pembiayaan sebagai moda penggerak pengumpul laba. Pembiayaan modal kerja mikro pada sektor UMKM dikenakan margin berkisar 19,65% pada tahun 2016 dan yang terbesar diantara sektor pembiayaan lainnya. Berdasarkan data dari OJK di tahun 2016, rasio pembiayaan bermasalah atau NPF sudah di ambang batas regulasi yaitu di atas 5%. Selama ini model penyelamatan pembiayaan bermaslah masih berat sebelah pada kepentingan bank yaitu menyelamatkan aset produktifnya. Hal ini kuranglah tepat karena sektor UMKM telah dikenakan margin yang tinggi, namun menjadi pihak yang dirugikan. Diantara langkah penyelamatan pembiayaan bermasalah adalah penjualan aset jaminan nasabah untuk pelunasan pembiayaan. Karakteristik pelaku usaha UMKM terkadang aset yang dijaminkan di bank adalah aset satu-satunya, sehingga apabila terjual karena lelang akan menjadikan keluarga tersebut jatuh dalam kemiskinan. Zakat hadir memberikan salah satu alternatif solusi. Salah satu objek zakat adalah zakat perdagangan yang dikenakan pada para pelaku usaha, dan salah satu golongan mustahik adalah gharimin (orang yang terlilit hutang). Di sini saya memperluas makna gharimin termasuk pada pelaku usaha yang pembiayaannya macet karena keadaan memaksa (force majeure/overmacht) di luar kemampuanya pada perbankan syariah. Sehingga nantinya terjadi pola distribusi zakat yang proporsional antar pelaku usaha pembayar zakat dengan pelaku usaha yang gharimin. Tulisan ini sekaligus memberikan rekomendasi kepada Pemerintah khususnya Baznas yang memiliki otoritas dalam hal zakat, dan juga perbankan syariah untuk saling bersinergi untuk menyelesaikan pembiayaan macet yang menguntungkan baik bank dan gharimin. Nantinya pembiayaan atas nama gharimin akan dilunaskan dengan zakat sekaligus memberikan bantuan usaha kepada gharimin  untuk memulai usahanya kembali.


  1. Statistik Perbankan Syariah Bulan Agustus 2017 dirilis oleh Ototitas Jasa Keuangan melalui website www.ojk.go.id ↩︎
  2. Muhammad, Bank Syari’ah Problem dan Prospek Perkembangan di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm. 78. ↩︎
  3. Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, (Yogyakarta: STIM YKPN, 2002), hlm. 304. ↩︎
  4. Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2014), hlm. 40-41. ↩︎
  5. Otoritas jasa Keuangan, “Statistik Perbankan Syariah Bulan Agustus 2017”, dikutip dari www.ojk.go.id 16 November 2017. ↩︎
  6. Otoritas jasa Keuangan, “Statistik Perbankan Syariah Bulan Agustus 2017”, dikutip dari www.ojk.go.id 16 November 2017 ↩︎
  7. Otoritas jasa Keuangan, “Statistik Perbankan Syariah Bulan Agustus 2017”, dikutip dari www.ojk.go.id 16 November 2017. ↩︎
  8. toritas jasa Keuangan, “Statistik Perbankan Syariah Bulan Agustus 2017”, dikutip dari www.ojk.go.id 16 November 2017. ↩︎
  9. Pasal 3 ayat (2) Peraturan OJK No. 15/POJK.03/2017 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum ↩︎
  10. Djoko Retnadi, Memilih Bank Yang Sehat, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2006), hlm. 112-113 ↩︎
  11. J. Satrio, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1993), hlm. 253-254. ↩︎
  12. Ikatan Bankir Indonesia, Memahami Bisnis Bank Modul Sertifikasi Tingkat I, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2013), hlm. 146. ↩︎
  13. Wahbah Al-Zuhayly, Al-Fiqh Al-Islami Adilatuh, (Damaskus: Dar Al-Fikr). Diterjemahkan oleh Agus Effendi dkk, Zakat: Kajian Berbagai Mahzab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008,  hlm. 82-83. ↩︎
  14. Wahbah Al-Zuhayly, Al-Fiqh Al-Islami Adilatuh, (Damaskus: Dar Al-Fikr). Diterjemahkan oleh Agus Effendi dkk, Zakat: Kajian Berbagai Mahzab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), hlm. 83. ↩︎
  15. Ibid, hlm. 84. ↩︎
  16. Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 103. ↩︎
  17. Wahbah Al-Zuhayly, Al-Fiqh Al-Islami Adilatuh, (Damaskus: Dar Al-Fikr). Diterjemahkan oleh Agus Effendi dkk, Zakat: Kajian Berbagai Mahzab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), hlm. 83. ↩︎
  18. Abdurrachman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1998), hlm. 44. ↩︎
  19. Abdurrachman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1998), hlm. 44. ↩︎
  20. Ibid, hlm. 43. ↩︎
  21. Abdul Al Hamid Mahmud, Ekonomi Zakat: Sebuah Kajian Moneter Dan Keuangan Syariah, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006), hlm. 11. ↩︎
  22. QS At Taubah [9]:34 ↩︎
  23. Asnain, Zakat Produktif dalam Perspektif Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 35. ↩︎
  24. Asnain, Zakat Produktif dalam Perspektif Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 36. ↩︎
  25. Pasal 6 Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menegah. ↩︎
  26. M. Ali Hasan, Zakat dan Infaq: Salah Satu Solusi Mengatasi Problematika Sosial di Indonesia, (jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 47-48 ↩︎
  27. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fatawa fi Ahkamis Zakat: Fikih Zakat Kontemporer, (Surakarta: Al Qowam, 2011), hlm. 17. ↩︎
  28. Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 135. ↩︎
  29. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsmaini, Sifat Zakat Nabi, (jakarta: Darus Sunnah Press, 2014), hlm. 153. ↩︎
  30. Surat Keputusan Dewan Pertimbangan Badan Amil Zakat Nasional No. 001/DP-Baznas/XII/2010 tentang Pedoman Pengumpulan dan Pentasyarufan Zakat, Infaq, dan Shadaqah pada Baznas. ↩︎
  31. Abu Hamid Muhammad Al Ghazali, Rahasia Puasa dan Zakat, (Bandung: Mizan Media Utama, 2001), hlm. 95. ↩︎
  32. Ibid, hlm 95-104. ↩︎
  33. Maruf Amin dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2001), hlm 175. ↩︎
  34. M. Arief Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat, (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2008), hlm. 2017. ↩︎
  35. Yusuf Qardhawi, Fiqhuz-Zakat, (Beirut: Muassasat ar-Risalah). Diterjemahkan oleh Salman Harun dkk, Hukum Zakat, (Jakarta: PT. Pustaka Litera Antarnusa, 2002), hlm. 624. ↩︎
  36. Masdar farid Mas’udi, Pajak itu Zakat, (Bandung: Mizan Media Utama, 2010), hlm. 123-124. ↩︎
  37. Teungku Muhammad Hasbi A.S, Pedoman Zakat, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,  1999), hlm. 185. ↩︎
  38. Yusuf Qardhawi, Fiqhuz-Zakat, (Beirut: Muassasat ar-Risalah). Diterjemahkan oleh Salman Harun dkk, Hukum Zakat, (Jakarta: PT. Pustaka Litera Antarnusa, 2002), hlm. 595. ↩︎
  39. Kuntarno Noor Aflah dan Mohs. Natsir Tajang, Zakat dan Peran Negara, (Jakarta: Forum Zakat, 2006), hlm.123 ↩︎
  40. Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menegah, “Data Pelaku usaha UMKM Tahun 2012”, dikutip dari www.depkop.go.id 16 November 2017. ↩︎
  41. Badan Pusat Statistik, “Data Penduduk Miskin Tahun 2016”, dikutip dari www.bps.go.id 16 November 2017. ↩︎
  42. Bahtiar Rifai, “Kemensos Buka Direktorat Jenderal Khusus Penanganan Kemiskinan”, dikutip dari https://news.detik.com/berita/3132945/kemensos-buka-direktorat-jenderal-khusus-penanganan-kemiskinan 16 November 2017 ↩︎
  43. Baznas, “Statistik Zakat 2016”, dikutip dari www.baznas.go.id 16 November 2017. ↩︎
  44. Ibid. ↩︎
  45. Sofyan Hasan, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), hlm. 68. ↩︎
  46. Otoritas jasa Keuangan, “Statistik Perbankan Syariah Bulan Agustus 2017”, dikutip dari www.ojk.go.id 16 November 2017. ↩︎
  47. Baznas, “Statistik Zakat 2016”, dikutip dari www.baznas.go.id 16 November 2017. ↩︎
  48. Erika Amelia, “Penyaluran Dana Zakat Produktif Melalui Pola Pembiayaan (Studi Kasus Bmt Binaul Ummah Bogor)”, Signifikan 1, 2 (2012), hlm. 83. ↩︎

Daftar Pustaka

Buku:

Aflah, Noor Kuntarno dan Mohd. Natsir Tajang, Zakat dan Peran Negara, Jakarta: Forum Zakat, 2006.

Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Fikih Zakat Kontemporer, Surakarta: Al Qowam, 2011.

Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Sifat Zakat Nabi, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014.

Al-Zuhaily, Wahab, Zakat: Kajian Berbagai Mahzab, terj. Agus Effendi,Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008.

Amin, Maruf dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2001.

Asnain, Zakat Produktif dalam Perspektif Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Ghazali, Abu Hamid Al, Rahasia Puasa dan Zakat, Bandung: Mizan Media Utama, 2001.

Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007.

Hasan, M. Ali, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, Surabaya: Al Ikhlas, 1995.

Hasan, M. Ali, Zakat dan Infaq: Salah Satu Solusi Mengatasi Problematika Sosial di Indonesia, Jakarta: Kencana Persada Media Group, 2008.

Indonesia, Ikatan Bankir, Memahami Bisnis Bank Modul Sertifikasi Tingkat I, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2013.

Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007.

Mahmud, Abdul Al Hamid, Ekonomi Zakat: Sebuah Kajian Moneter Dan Keuangan Syariah, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006.

Mas’udi, Masdar Farid, Pajak itu Zakat, Bandung: Mizan Media Utama, 2010.

Muhammad, Bank Syari’ah Problem dan Prospek Perkembangan di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005

Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta: STIM YKPN, 2002.

Muhammad, Manajemen Dana Bank Syari’ah, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2014.

Satrio, J, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bandung: Alumni, 1993.

Qadir, Abdurrachman, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1998.

Qardhawi, Yusuf, Fiqhuz-Zakat, Jakarta: PT. Pustaka Litera Antarnusa, 2002.

Jurnal:

Amelia, Erika, Penyaluran Dana Zakat Produktif Melalui Pola Pembiayaan (Studi Kasus BMT Binaul Ummah Bogor), dalam Jurnal “Signifikan” Volume 1 No. 2 Tahun 2012.

Peraturan:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menegah.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

Peraturan Menteri Agama No. 52 Tahun 2014 Tentang Syarat dan Tata Cara Perhitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif.

Peraturan OJK No. 15/POJK.03/2017 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum.

Website:

www.baznas.go.id

www.bps.go.id

www.depkop.go.id

www.ojk.go.id

www.detik.com


Kantor Hukum Jogjalawkarta adalah kantor pengacara yang telah menangani berbagai perkara hukum baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata sejak tahun 2018 seperti pendampingan perkara perdata, cerai talak, gugat cerai, permohonan dispensasi kawin, gugatan hak asuh anak, permohonan penetapan ahli waris, sengketa wanprestasi/perbuatan melawan hukum, pendampingan perkara pidana, mediasi, negosiasi, dan masih banyak lagi. Selain itu Kantor Hukum Jogjalawkarta telah membantu berbagai industri dan bisnis dalam memberikan solusi hukum terbaik yang berkaitan dengan peraturan-peraturan di Indonesia.

Untuk informasi lebih lengkapnya anda dapat menghubungi kami via :
WhatsApp : (0812-1080-4902)
Instagram : @jogjalawkarta
Facebook : Jogjalawkarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *